Wednesday, July 28, 2021

Makalah Hadist Tarbawi tentang "ISLAM MENGHARGAI KERJA"

 


BAB I

PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang

Di era dan globalisasi sekarang ini persaingan sangat ketat, sehingga persoalan kemampuan dan keahlian atau profesionalitas menjadi suatu tuntutan dan keharusan yang harus dikedepankan dan bukan lagi saatnya dan tidak lagi relevan mengedepankan persoalan latar belakang kedaerahan, misalnya putera daerah dan non putera daerah, latar belakang etnis, keturunan, golongan, dan lain-lain.

Islam mengandung ajaran semua dimensi kehidupan. Ia memberi pedoman kepada umat manusia tentang apa yang pantas dan layak mereka lakukan dalam kehidupan ini. Islam telah menetapkan ajarannya untuk kehidupan manusia mulai dari ia bangun tidur di subuh dan pagi hari hingga ia tidur kembali di malam hari.

Banyaknya masalah keduniaan yang bisa merugikan orang lain akibat tidak adanya profesionalitas yang dimiliki oleh setiap individu. Misalnya di indonesia yang sudah dilanda multikrisis yang sampai detik ini belum juga berakhir dan yang paling banyak merasakan deritanya dalah rakyat kecil. Salah satu faktor penyebabnya adalah karena tidak ada profesionalitas dari kalangan atas. Dalam konteks ajaranIslam sangat menghargai keahlian dan profesionalitas yang dimiliki oleh setiap manusia dalam mengembangkan serta menerapkan keahliannya. Oleh karena itu dalam makalah ini akan dibahas tentang islam menghargai kerja yang profesional.

 

 

B.     Tujuan Penulisan

1.      Untuk mengetahui hadis tarbawi tentang Islam Menghargai Kerja yang Profesional,

2.      Untuk mengetahui sumber riwayat hadis tarbawi tentang Islam Menghargai Kerja yang Profesional,

3.      Untuk mengetahui Takhrijul Hadis tarbawi tentang Islam Menghargai Kerja yang Profesional,

4.      Untuk mengetahui Asbab Al-Wurud hadis tarbawi tentang Islam Menghargai Kerja yang Profesional,

5.      Untuk mengetahui fiqhul hadis tarbawi tentang Islam Menghargai Kerja yang Profesional.

6.      Untuk melengkapi tugas mata kuliah “ Hadist Tarbawi”.

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

ISLAM MENGHARGAI KERJA YANG PROFESIONAL

 

 

Diriwayatkan dari Aisyah RA., ia berkata, bahwa Nabi saw. Bersabda: “kalian lebih tahu tentang urusan dunia kalian.” (HR. Muslim)

A.     Sumber Riwayat

Hadist tersebut bersumber dari tiga orang sahabat, yaitu Aisyah, Anas ibn Malik, dan Tsabit ibn Aslam. Aisyah binti Abu Bakar Ash-Shiddiqah salah seorang istri Nabi saw. dan Umm al-Mu’minin. Nama Aisyah berasal dari kat ‘Aisy artinya hidup. Nabi saw.biasanya memanggilnya dengan nama ‘Uwaisy. Selain itu, biasanya juga dipanggil Humaira (artinya kemerah-merahan). Panggilan dengan menggunakan bentuk Taghsir seperti itu sebagai bentuk ungkapan rasa kasih sayang dan cinta serta ungkapan lebih akrab.

Aisyah lahir dua tahun setelah Muhammad dilantik menjadi Rasul atau sekitar tahun 8 sebelum hijrah. Aisyah dinikahi oleh Rasulullah Saw.ketika masih usia 6 tahun atau dua tahun sebelum hijrah ke Madinah, dan tiga tahun setelah wafatnya Khadijah istri pertama Nabi Saw. dan berkumpul bersama dengan Nabi Saw di Madinah dalam satu rumah hingga usia 9 tahun, yaitu pada bulan syawal tahun 2 H setelah pulang dari perang Badar. Ada juga yang mengatakan tahun 1 H. Aisyah tinggal serumah dengan Nabi saw.selama 8 tahun 5 bulan dan menjadi janda nabi saw.ketika sedang berusia 18 tahun. Nabi saw.wafat pada hari senin 12 Rabiul Awal 11 H/ 8 Juni 632 M ketika sedang dalam dekapan Aisyah, pada saat itu memang adalah tepat hari giliran jatah Aisyah.

Aisyah adalah tokoh sahabat perempuan terkemuka, dengan kecerdasannya ia sebagai ahli fatwa, tafsir, fiqih, terutama ilmu faraid atau kewarisan, ilmu sastra, dan lain-lain. Menurut Az-Zuhri (124 H/742 M), kalau dibandingkan ilmu yang dimiliki Aisyah dengan ilmu yang dimiliki semua wanita dan atau isteri-isteri Rasul yang lain dan ilmu para sahabat, maka ilmu Aisyah masih tetap unggul. Ada hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim yang bersumber dari Anas, Nabi Saw.bersabda : “Keutamaan Aisyah atas seluruh perempuan, seperti keutamaan tsarid (jenis makan arab yang terdiri dari daging dan roti) atas seluruh menu makanan.”

Aisyah termasuk urutan keempat di antara para sahabat yang terbanyak meriwayatkan hadis. Ia meriwayatkan 2.210 hadis. 174 hadis yang disepakati Bukhari dan Muslim. 54 hadis yang diriwayatkan sendiri oleh Bukhari saja dan 68 hadis oleh Muslim sendiri.Aisyah wafat di Madinah pada masa kekhalifahan Muawiyah pada malam selasa, 17 Ramadhan tahun 57 H dalam usia 66 tahun.                

B.     Takhrijul Hadis

Hadis ini diriwayatkan imam Muslim dalam Shahihnya pada hadis no. 2363. Dan kualitas hadis tersebut adalah sahih. Dalam riwayat lain yang semakna dengan hadis tersebut diriwayatkan Ahmad dalam Musnadnya pada hadis no. 24399.

 

“jika sesuatu itu menyangkut urusan dunia kalian, maka kalian lebih tahu. Adapun jika urusan agama kalian, maka itu adalah urusanku.”

Ibnu Majah dalam sunannya pada hadis no 2471 juga nmeriwayatkan dengan susunan redaksi.

 

            “Jika sesuatu itu menyangkut urusan dunia kalian, maka itu adalah urusan kalian sendiri. Dan jika sesuatu itu adalah urusan agama, maka itu adalah urusanku.”

C.     Asbab Al-Wurud

Adapun latar belakang yang menyebabkan lahirnya hadis tersebut di atas adalah sebagaimana diriwayatkan Muslim dari Anas ibn Malik, bahwa Nabi saw. pernah lewat dihadapan para petani yang tengah mengawinkan serbuk (kurma pejantan) ke putik (kurma betina). Nabi saw. berkomentar : “Sekiranya kalian tidak melakukan hal ini, niscaya kurmamu akan bagus dan baik.” Mendengar komentar ini para petani berhenti dan tidak lagi mengawinkan kurmanya. Beberapa lama kemudian, Nabi Saw.lewat lagi di tempat itu dan menegur para petani: “Mengapa pohon kurmamu itu?” para petani menyampaikan apa yang telah dialami oleh kurma mereka, yakni banyak yang tidak jadi. Mendengar keterangan mereka itu, maka Nabi Saw.bersabda: “Kalian lebih tahu tentang urusan dunia kalian.”

D.     Fiqhul Hadis

Hadis tersebut di atas, kalau dilihat secara tekstual saja tanpa melihat pada konteks apa dan latar belakang historis apa yang menyebabkan lahirnya hadis tersebut disabdakan, maka dipahami secara ekstrim dan berlebihan bahwa Nabi Saw. tidak tahu dan tidak mengerti sama sekali serta tidak mau peduli terhadap urusan keduniaan. Pemahaman seperti itu tentu saja keliru, sebab Nabi Saw.bukan Malaikat dan beliau diangkat oleh Allah menjadi Nabi dan Rasul, namun sifat kemanusiaannya tidak terhapus.

Di samping itu, ada juga yang memahami hadis tersebut di atas secara sekilas dari tekstualnya saja, bahwa dalam hadis tersebut Nabi saw.menganjurkan adanya sekularisme , karena pada satu sisi Nabi saw.menyerahkan urusan dunia sepenuhnya kepada orang lain sehingga terkesan ada pemisahan antara urusan dunia dan urusan agama. Pemahaman seperti itu juga dinilai keliru. Para ulama dati kalangan manapun telah konsensus menyepakati bahwa sekularisme adalah suatu aliran pemikiran dan paham yang bertentangan dengan ajaran islam,sebab dalam aliran sekularisme mengajarkan doktrin yang memposisikan urusan dunia terlepas dan tercabut dari ajaran agama, sehingga dengan demikian ada pemisahan antara urusan dunia dan agama. Dalam konsep ajaran Islam tidak mengenal tembok pemisah antara ajaran yang berdimensi dunia dan agama. Islam adalah agama untuk kehidupan dunia dan keselamatan Akhirat.

Tujuan keberadaan Nabi adalah untuk menjelaskan tentang keyakina tauhid, syariat, dan akhlak dan bukan untuk menjelaskan masalah ilmiah, sains dan teknologi. Pengertian “Dunia” yang beliau serahkan kepada kita dalam hadis tersebut di atas adalah masalah ilmiah terapan yang didapatkan melalui hasil eksperimen dan pengalaman hidup dan tidak ada hubungannya dengan masalah keyakinan ketuhanan.

Oleh karena itu, upaya memahami pesan dan muatan hadis tersebut diatas adalah dengan memahami berdasarkan pada konteks latar belakang historis sosial budaya ketika disabdakannya hadis tersebut. Hadis tersebut disabdakan Nabi Saw. ketika melewati para petani kurma yang tengah menyerbuk kurmanya sebagaimana disebutkan pada latar belakang lahirnya hadis tersebut di atas hingga Nabi Saw. bersabda kepada para petani: “Bahwa kalian lebih tahu tentang urusan dunia kalian”. Ini artinya, bahwa Nabi Saw. bersabda demikian sebagai respon dan bentuk perhatian dan penghargaannya terhadap keahlian pada bidang pertanian kurma itu.

Jadi urusan dunia dalam hadis tersebut di atas dimaknai sebagai sebuah pengetahuan ilmiah terapan keahlian atau profesional pada suatu bidang tertentu. Nabi Saw. menyerahkan urusan dunia kepada kita sebagai sebagai sebuah penghargaan terhadap keahlian atau profisionalitas tertentu. Dengan demikian, hadis tersebut diatas secara kontekstual dapat dipahami sebagai sebuah ajaran yang mengedepankan persoalan profesionalitas.

Dalam profesionalitas ini, ada tiga hal yang terkandung di dalamnya yang antara satu dengan yang lainnya saling terkait yaitu:

1.      Mempunyai kealian dan penguasaan pada suatu bidang tertentu dengan dilandasi oleh kapasitas kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

2.      Mempunyai etika dan moral (akhlak).

3.      Memberikan pelayanan dan Maslahat kepada orang lain, masyarakat dan lingkungan.

Dan ketiga-tiganya harus terpadu. Menguasai dan ahli pada suatu bidang tertentu,tapi tidak mempetimbangkan persoalan moral dan etika bahkan tidak bermoral, maka itu tak dapat disebut sebagai profesional. Di samping itu, yang namanya profesional harus apa yang dimilikinya itu dapat memberikan manfaat tidak saja pada dirinya sendiri, tapi juga orang lain, masyarakat dan lingkungannya baik pada skala kecil maupun skala lebih luas dan besar sepertiuntuk kepentingan berbangsa dan bernegara.

 

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

            Berdasarkan makalah di atas maka penulis menyimpulkan bahwa pada dasarnya tidak ada pemisah antara ajaran yang berdimensi dunai dan akhirat. Islam adalah suatu agama yang mengatur kehidupan baik kehidupan dunia maupun keselamatan di akhirat.

            Islam sangat menghrargai profesionalitas, terbukti bahwa Nabi menyerahkan urusan dunia kepada umatnya untuk menerapkan keahlian dan pengetahuan ilmiah yang kita miliki pada suatu bidang tertentu.

            Dengan demikian dalam ajaran islam sangat mengedepankan profesionalitas dalam bekerja untuk menghadapi dan merespon tantangan di era globalisasi ke depan yang penuh dengan persaingan ketat.

 

DAFTAR PUSTAKA

Sayadi, Wajidi. 2009. Hadis Tarbawi Pesan-Pesan Nabi Saw. Tentang Pendidikan. Jakarta: Pustaka Firdaus


Untuk File sahabat bisa download pada link dibawah ini :

DOWNLOAD

Makalah Komersialisme Pendidikan


 

BAB I

PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang

Pendidikan merupakan hal yang sangat penting di dalam kehidupan manusia, selain kebutuhan pokok seperti sandang, pangan dan papan yang harus dipenuhi. Tanpa pendidikan, seseorang tidak akan bisa beradaptasi dan diterima oleh masyarakat di sekitarnya.[1]

Namun, yang terjadi akhir – akhir ini adalah pendidikan yang seharusnya bertujuan untuk mencerdaskan anak – anak bangsa justru menjadi lahan bisnis yang membawa berbagai dampak.

Untuk dapat melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinngi harus merogoh kocek yang tidak sedikit, apalagi sejak maraknya sekolah RSBI atau kepanjangan dari Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional yang meskipun sampai sekarang masih dipertanyakan kebenarannya.

Pendidikan sebagai lahan bisnis tidak hanya disebabkan oleh kaum – kaum penguasa tertentu, bahkan terkadang guru dalam sekolah tersebut juga ikut campur dalam hal ini. Semua hal yang awalnya bertujuan baik dan mulia kini tampaknya sudah melenceng dari garis lurus yang seharusnya terpenuhi.

Adapun kaum- kaum yang menjadi tersisih oleh karena munculnya fenomena ini, yaitu kaum miskin. Lebih miris ketika muncul tulisan – tulisan yang menyebutkan bahwa “Orang Miskin Dilarang Sekolah!” .

Pernyataan yang disertai tanda seru itu seolah menegaskan bahwa tidak ada jalan masuk untuk orang miskin bisa sekolah. Tidak ada celah. Kaum miskin menjadi kamu yang dirugikan ketika ada beberapa pihak yang memanfaatkan pendidikan menjadi lahan bisnis.

Pendidikan menjadi suatu hal yang hanya bisa dinikmati oleh kaum berduit saja. Pendidikan dapat dibeli dengan uang dan harga yang mahal. Komersialisme bidang pendidikan di Indonesia tidak hanya di beberapa tempat saja. Namun sudah cukup banyak sekolah yang mempersilahkan sekolahnya untuk menjadi lahan bisnis untuk mendapat keuntungan yang sebesar – besarnya.

B.     Tujuan Penulisan

1.      Untuk mengetahui pengertian dari komersialisme pendidikan

2.      Untuk mengetahui penyebab/aspek-aspek munculnya komersialisme pendidikan.

3.      Untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan dari komersialisme pendidikan.

4.      Untuk mencari solusi yang tepat dalam menghadapi komersialisme yang ada pada lembaga pendidikan

5.      Untuk melengkapi tugas dari mata kuliah “Filsafat Pendidikan”

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

KOMERSIALISME PENDIDIKAN

 

A.     Pengertian Komersialisme Pendidikan

Komersialisasi pendidikan dapat bermakna memperdagangkan pendidikan, karena menurut kamus, kata komersial atau commercialize berarti memperdagangkan. Adapun istilah “komersialisasi pendidikan”. Sekarang ini istilah komersialisasi pendidikan mengacu pada dua pengertian yang berbeda, yaitu:

1.      Komersialisasi pendidikan yang mengacu lembaga pendidikan dengan program serta perlengkapan mahal. Pada pengertian ini, pendidikan hanya dapat dinikmati oleh sekelompok masyarakat ekonomi kuat, sehingga lembaga seperti ini tidak dapat disebut dengan istilah komersialisasi karena mereka memang tidak memperdagangkan pendidikan.

Pemungutan biaya yang tinggi adalah untuk menfasilitasi jasa pendidikan serta menyediakan infrastruktur pendidikan yang bermutu, seperti menyediakan fasilitas teknologi informasi, laboratorium dan perpustakaan yang baik, serta memberikan kepada para guru atau dosen gaji menurut standar.

Sisa anggaran yang mereka peroleh, mereka tanamkan kembali bentuk infrastruktur pendidikan. Komersialisasi pendidikan jenis ini tidak akan mengancam idealisme pendidikan nasional atau idealisme Pancasila, akan tetapi perlu dicermati juga, karena dapat menimbulkan pendiskriminasian dalam pendidikan nasional.

2.      Komersialisasi pendidikan yang mengacu kepada lembaga pendidikan yang hanya mementingkan uang pendaftaran dan uang kuliah saja, tetapi mengabaikan kewajiban-kewajiban pendidikan. Komersialisasi pendidikan ini biasanya, dilakukan oleh lembaga atau sekolah-sekolah yang menjanjikan pelayanan pendidikan tetapi tidak sepadan dengan uang yang mereka pungut.

Pada lembaga atau sekolah yang seperti ini, laba atau selisih anggaran yang diperoleh tidak ditanam kembali ke dalam infrastruktur pendidikan, melainkan dipergunakan untuk memperkaya atau menghidupi pihak-pihak yang tidak secara langsung bekerja menyajikan pelayanan di lembaga tersebut. Pihak-pihak tersebut adalah anggota yayasan atau badan amal pendidikan yang menguasai lembaga pendidikan. Itu hal yang lebih berbahaya lagi, komersialisasi jenis kedua ini dapat pula melaksanakan praktik pendidikan untuk maksud memburu gelar akademik tanpa melalui proses serta mutu yang telah ditentukan sehingga dapat membunuh idealisme pendidikan Pancasila.

Hal tersebut jelas tercantum di dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada bab 1 pasal 1 yang berbunyi: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak yang mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara.[2]

Dalam bab tersebut jelas dinyatakan bahwa pendidikan itu harus melalui proses belajar dan berakhlak mulia, mungkin ini kurang terdapat dalam komersialisasi pendidikan jenis kedua di atas.

 

B.     Aspek-Aspek yang Memunculkan “Komersialisme” Pendidikan

1.      Aspek Politik

Pendidikan yang merupakan kebutuhan dasar manusia dan yang harus dipenuhi oleh setiap manusia juga memiliki aspek politik karena dalam pengelolaan harus berdasarkan ideologi yang dianut negara. Adapun ideologi pendidikan kita adalah ideologi demokrasi Pancasila, yaitu setiap warga negara mendapat kebebasan dan hak yang sama dalam mendapat pendidikan.

Dalam Pembukaan UUD 45 pada alinea ke-4 , hal ini pun tercermin ada kalimat mencerdaskan kehidupan bangsa. Atas dasar itu sudah seharusnya pemerintah dalam menetapkan setiap kebijakan pendidikan merujuk pada ideologi negara. Akan tetapi dalam kenyataannya melalui pemerintah mengeluarkan peraturan (PP) No. 61 Tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi sebagai Badan Hukum, pemerintah telah memberikan otonomi pada perguruan tinggi dalam mengelola pendidikan lembaganya termasuk pencarian dana bagi biaya operasionalnya. Akibatnya muncul tempat-tempat pendidikan dengan biaya mahal dan tidak terjangkau oleh golongan ekonomi lemah, sehingga hak masyarakat untuk mendapatkan hak yang sama memperoleh pendidikan jauh dari kenyataan.

Tanpa disadari dunia pendidikan kita yang berlandaskan Pancasila telah masuk ke dalam mesin giling ideologi kapitalisme yang lumat dalam mekanisme pasar serta kurang menghiraukan kaum lemah, malahan menjadi komoditas yang sangat mahal nilainya. Kuasa uang begitu mudah memasuki arena pendidikan kita yang mengalahkan moralitas pendidikan itu sendiri. Diakui pendidikan membutuhkan uang tetapi uang bukanlah segala-galanya untuk meraih pendidikan atas kondisi yang demikian, strata sosial, harkat dan martabat mereka tetap berada di bawah. Apabila pendidikan tetap mahal dan dikomersialisasikan, masyarakat yang kurang mampu tidak akan dapat meningkatkan status sosial mereka, dan ironisnya komersialisasi pendidikan ini didukung oleh tatanan sosial dan diterima oleh masyarakat.

2.      Aspek Budaya

Budaya bangsa kita mengagungkan gelar akademis dan sebagai contoh dihampir setiap dinding rumah yang keluarganya berpendidikan selalu terpajangfoto wisuda anggota keluarga lulusan dari universitas manapun. Hal ini menunjukkan bahwa bangsa kita masih menganut budaya yang degree minded.

Budaya berburu gelar ini berkembang pada lembaga pemerintah yang mengangkat atau mempromosikan pegawai yang memiliki gelar sarjana tanpa terlebih dahulu diteliti dan dites kemampuan akademik mereka. Ironisnya program pendidikan seperti ini banyak diminati oleh pejabat-pejabat. Dengan komersialisasi pendidikan berarti ideologi kapitalisme telah masuk kampus. Ideologi ini memberikan kebebasan pada individu atau kelompok untuk berusaha, sementara intervensi pemerintah harus berkurang.[3] Akibat masuknya ideologi ini akan dapat menggeser pendidikan demokrasi Pancasila kalau pemerintah tidak cepat tanggap dalam hal ini.

3.      Aspek Ekonomi

Sudah pasti kita akan membicarakan aspek ekonomi terkait dengan masalah biaya. Biaya pendidikan nasional seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah, akan tetapi dengan keluarnya UU No. 20 Tahun 2003 pada bab XIV pasal 50 ayat 6 dinyatakan bahwa perguruan tinggi menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan lembaganya. Hal ini menunjukkan ketidak mampuan pemerintah membiayai pendidikan nasional.

Pasca munculnya UU Otonomi Daerah yang di dalamnya memuat kebijakan otonomi kampus, berbagai perguruan tinggi kemudian tidak lagi disubsidi oleh pemerintah. Ada empat perguruan tinggi, yakni UI, ITB, UGM, dan IPB yang terkena kebijakan itu. Dengan model pengelolaan Badan Hukum Milik Negara (BHMN), keempat perguruan tinggi itu tidak lagi memperoleh subsidi. Dan, karenanya, para rektor dituntut untuk mencari biaya sendiri dengan caranya masing-masing.[4]

Berbagai program pendidikan ditawarkan oleh pengelola perguruan tinggi untuk memaksimalkan potensi intuisinya dalam mencari sumber pendanaan. Beberapa perguruan tinggi ternama seperti UI, ITB, UGM, IPB, dan USU membuka jalur khusus dalam penerimaan mahasiswa baru dengan tarif mulai dari Rp.15 juta sampai dengan Rp.150 juta[5]. Hal ini terjadi akibat dari lepasnya tanggung jawab pemerintah dalam membiayai pendidikan sehingga berdampak pada komersialisasi pendidikan di perguruan tinggi negeri (berstatus BHMN), yang tentu saja menguntungkan. Alasan untuk menciptakan pendidikan yang bermutu perlu biaya besar dan mahal bagi kalangan masyarakat yang kehidupan ekonominya lemah, maka status BHMN akan menjadi momok yang menakutkan.

 

4.      Aspek Sosial

Aspek sosial terkait dengan dari hubungan dengan manusia. Pendidikan sangat menentukan perubahan strata sosial seseorang, yaitu semakin tinggi pendidikan seseorang, akan semakin meningkat pula strata sosialnya, begitu juga sebaliknya.

Sesuai dengan pendapat Kartono (1997: 97)[6] yang menyatakan: tingginya tingkat pendidikan dan tingginya taraf kebudayaan rakyat akan menjadi barometer bagi pertumbuhan bangsa dan negara yang bersangkutan. Akan tetapi bagaimana orang dapat, mencapai pendidikan tinggi apabila biaya pendidikan tersebut mahal dan hanya dapat dinikmati oleh masyarakat golongan ekonomi mapan saja.

 

C.     Dampak Komersialisme Pendidikan

Pendidikan yang dikemukakan merupakan hak asasi yang dimiliki oleh setiap warga Negara, kini justru memberikan kenyataan yang sebaliknya. Pendidikan menjadi barang mahal yang hanya terbeli oleh kalangan berkantong tebal. Tujuan yang diharapkan dari adanya pendidikan adalah untuk merubah sikap dan perilaku seseorang menjadi lebih baik dan menuju ke tingkat pendewasaan dalam arti yang positif melalui transfer pengetahuan.

Namun pendidikan pada umumnya identik dengan sekolah, sehingga banyak orang melihat bahwa orang yang tidak sekolah adalah orang yang tidak berpendidikan. Seseorang dianggap mengenyam pendidikan pendidikan jika ia pernah atau telah menempuh sekolah. Orang yang terdidik dianggap sebagai seseorang yang telah menyandang gelar tertentu dari proses belajar mengajar di sekolah ataupun lembaga formal.

Pendefinisian pendidikan pun telah melenceng dari arti yang sebenarnya. Hal ini memicu timbulnya komersialisme pendidikan. Komersialisme pendidikan yaitu suatu fenomena dimana terdapat pihak – pihak tertentu yang bermaksud atau sudah menguasai dan menjadikan sarana pendidikan (sekolah dan sarana prasarananya) untuk dijadikan peluang usaha atau lahan bisnis yang dapat menghasilkan keuntungan.

Pendidikan yang seharusnya bisa dinikmati oleh semua kalangan dari kelas manapun, kini semenjak munculnya komersialisme pendidikan, menyebabkan beberapa dampak diantaranya:

1.      Semakin sempitnya ruang bagi kaum – kaum tertentu untuk dapat menikmati pendidikan

2.      Muncul diskriminasi bagi rakyat kecil yang tidak dapat membayar harga cukup mahal untuk mereka mengenyam pendidikan.

3.      Semakin banyak kaum yang berkuasa disebuah lembaga pendidikan dan semakin tinggi persaingannya.

4.      Banyak pihak yang menjadikan sekolah sebagai lahan bisnis. Apalagi sejak munculnya RSBI, banyak sekolah yang ingin mendapatkan gelar sebagai RSBI.

Gelar RSBI juga disalah artikan, banyak pihak – pihak baik dari dalam maupun dari luar sekolah yang memanfaatkan gelar tersebut dengan mematok harga tinggi bagi siswa – siswanya untuk mereka dapat melanjutkan pendidikan. Biaya dalam hitungan jutaan, menjadi monster yang menakutkan bagi rakyat miskin yang ingin menempuh pendidikan lebih tinggi namun tidak memiliki cukup biaya untuk mendapatkan pendidikan di sekolah yang seharusnya layak dan pantas mereka terima.

Mahalnya biaya pendidikan menyebabkan banyak orang tua putus asa, karena kebutuhan yang harus dipenuhi bukan saja hanya pendidikan, namun masih ada kebutuhan pokok seperti sandang, pangan dan papan yang harus dipenuhi dengan biaya yang juga tidak sedikit.

Banyak orang tua gelisah dan cemas memikirkan masa depan anak – anaknya jika mereka tidak bisa mendapat sekolah yang layak sebagai tempat untuk mereka mendapat bekal masa depan untuk kehidupan yang lebih baik. Banyak yang memutuskan untuk putus sekolah, entah menjadi pengangguran ataupun memutuskan untuk bekerja di usia yang masih sangat muda.

Namun adapula beberapa dampak positif dari komersialisme pendidikan ini, Sebagai contoh di Perguruan Tinggi Swasta Pelita Harapan yang memungut biaya puluhan juta rupiah per semester, ini menyediakan berbagai fasilitas terutama teknologi informasi serta tenaga pengajar yang bertaraf internasional. Tampaknya perguruan tinggi serupa ini disediakan khusus bagi kalangan atas dan mahasiswa disiapkan benar-benar mampu bersaing dalam era globalisasi.

Komersialisasi pendidikan jenis ini perlu didukung karena kita harus menyadari bahwa masyarakat kita terdiri dari berbagai segmen ekonomi yang berbeda. Menyediakan perguruan tinggi dengan biaya mahal dan bertaraf internasional berarti kita telah menarik masyarakat yang mempunyai kemampuan dalam finansial untuk menyekolahkan anak mereka di dalam negeri dan tidak lagi harus ke luar negeri. Ini akan mencegah masuknya devisa negara kita ke negara asing dan sangat membantu perekonomian indonesia

 

.

.            

D.     Contoh Budaya Komersialisme yang terjadi di Kalangan Pendidikan

Contoh budaya komersil dikalangan pendidikan belakangan ini semakin banyak bermunculan di berbagai perguruan tinggi di Indonesia, yaitu IAIN Syekh Nurjati Cirebon[7]. Misalnya, lahan pendidikan yang seharusnya menjadi tempat pengembangan karakter, disulap menjadi lahan usaha oleh oknum dosen. Berbagai bentuk komersialisasi tersebut nampak jelas membudaya.

Kondisi ini sangat memprihatinkan, yang pada akhirnya berdampak terhadap menurunnya mutu pendidikan serta merusak budaya bangsa tanpa menghiraukan lagi nilai-nilai moral; Mengebiri mahasiswa untuk mendapatkan hak pendidikan yang selayaknya. Jika fenomena seperti ini masih tetap dibiarkan, maka imbasnya akan dirasakan hingga ke dalam tubuh instansi tersebut. Yang lebih parahnya lagi akan mencekik kehidupan sosial masyarakat kalangan bawah dalam hal ini ialah mahasiswa yang kurang mampu.

Salah satu bentuk komersialisasi yang terjadi di perguruan tinggi adalah penyalahgunaan profesi yang dilakukan oleh beberapa dosen. Memanfaatkan celah untuk menjadikan lahan bisnis adalah bukti nyata yang terjadi dalam sebuah kampus.

Banyak mahasiswa yang resah dengan dosen yang mengkomersilkan mata kuliah nya dengan alasan "nilai". Mereka diwajibkan mengikuti bimbingan satu mata kuliah dengan pungutan biaya yang cukup besar, bahkan sampai beberapa kali.

Yang lebih lucunya lagi adanya oknum dosen yang mengharuskan mahasiswanya membeli bahan mata kuliah berbentuk lembaran fotocopy_an, namun dengan harga yang tidak manusiawi.  Jelas-jelas praktek seperti ini bertolak belakang dengan kode etik dosen itu sendiri. Dimana seorang dosen tidak diperbolehkan menjual barang atau bacaan dengan unsur paksaan.

Sebagai kalangan intelektual (dosen), semestinya dapat memberikan pelayanan yang lebih baik, bukan malah sebaliknya. Menutup mata dan telinga seakan tidak peduli dengan keluhan beberapa mahasiswa-nya. Sungguh ironis pendidikan sekarang ini khususnya di IAIN.

Timbulnya komersialisasi pendidikan di tubuh IAIN tidak jauh dari pengaruh politik, sosial, budaya bahkan ekonomi. Aspek-aspek inilah yang menjadi pemicu utama lahirnya komersialisasi. Tidak bisa dipungkiri lagi dunia pendidikan nasional_pun terkontaminasi muatan politik, karena dalam pengelolaannya pendidikan harus bedasarkan ideologi yang dianut negara.

Adapun ideologi pendidikan negara kita adalah ideologi demokrasi Pancasila, yaitu setiap warga negara mendapat kebebasan dan hak yang sama dalam mendapat pendidikan. Hal ini tertuang dalam Pembukaan UUD 45 pada alinea ke-empat.

Namun pada kenyataannya hak masyarakat untuk mendapatkan pendidikan yang sama pun masih jauh dari apa yang tertuang dalam UUD 45. Dengan demikian beberapa aturan yang telah ditetapkan hanyalah omong kosong belaka. Padahal pendidikan merupakan kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi setiap individu itu sendiri.

Kini pendidikan yang berlandaskan Pancasila sudah masuk ke dalam mesin giling ideologi kapitalisme, melebur dalam mekanisme pasar tanpa menghiraukan kaum lemah. Bahkan fenomena ini tergolong klasik untuk kita dengar, seperti hukum rimba “siapa yang kuat dia adalah pemenangnya”, sehingga tidak berlaku untuk golongan kaum bawah. Akibat longgarnya sanksi sosial dan kurangnya kontrol lembaga khususnya di IAIN, komersialisasi pendidikan tumbuh subur serta membentuk  social gap atau diskriminasi dalam pendidikan antara masyarakat (mahasiswa) yang mampu dengan yang tidak mampu.

Fenomena dan fakta pendidikan seperti ini merupakan suatu masalah yang lambat laun secara politik bakal menumbuh suburkan culture capitalism maupun ideologi neoliberilsm di lembaga pendidikan IAIN dengan modus klasik “komersialisasi pendidikan”.

Sudah cukup penderitaan yang diemban masyarakat kaum bawah dengan adanya praktek komersialisasi pendidikan tersebut. Kita tidak pernah sadar betapa pentingnya pendidikan yang sehat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Apakah kita masih harus tetap diam dengan pendidikan yang seperti ini...?

E.     Solusi Terhadap Komersialisme Pendidikan

Munculnya komersialisasi pendidikan adalah sebagai akibat dari pelepasan tanggung jawab pemerintah yang telah mencabut subsidi pembiayaan terutama pada perguruan tinggi dan pemberian hak otonomi serta status BHMN pada perguruan tinggi negeri. Hal ini mengakibatkan ideologi kapitalisme mulai merebak di dalam dunia pendidikan yang pada akhirnya lebih mengutamakan keuntungan bagi pihak-pihak tertentu saja.

Komersialisasi di perguruan tinggi negeri boleh-boleh saja asalkan mutu pendidikan tetap dipertahankan dan pola akses masuk anak didik untuk masuk perguruan inggi negeri jangan sampai diubah.

Komersialisasi di perguruan tinggi negeri dengan jalur khususnya bertujuan untuk mengumpulkan modal untuk membiayai pendidikan mereka. Akan bisa positif bila dalam pelaksanaannya, uang tersebut diputarkan dengan cara penanaman modal di bursa atau sertifikat Bank Indonesia, obligasi/swasta yang dapat memberikan keuntungan hingga dapat dipergunakan Universitas. Dengan cara seperti ini modal pokok tidak terpakai (sepert  i Jamsostek). Untuk operasionalnya: harus ada Fund Manager yang duduk di Universitas yang ahli dalam pemutaran dan mencari saluran dana yang dapat memberikan keuntungan untuk membiayai universitas. Fund manager letaknya di bawah rektor yang diangkat oleh rektorat, dan ia harus mempunyai staf sendiri bukan merupakan pekerjaan sambilan.

Komersialisasi pendidikan memang perlu dan terkadang sangan diperlukan tetapi jangan sampai semua itu menjadi orientasi utama dari proses pendidikan karena hal itu akan menyebabkan membiasnya esensi pendidikan dan tidak tercapainya tujuan pendidikan.[8]

 

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Seperti yang telah disebutkan, pengertian komersialisasi pendidikan mengacu pada dua hal yaitu komersialisasi dalam arti:

1.      Memungut biaya mahal dengan fasilitas pendidikan yang mewah, lengkap, tenaga pengajar berkualitas dan bertaraf Internasional

2.      Komersialisasi didasarkan pada pengambilan keuntungan semata untuk mencapai hasil dan gelar dengan jalan pintas tanpa melalui proses pembelajaran.

Dari kedua jenis komersialisasi itu, maka komersialisasi jenis kedua dianggap tidak berkualitas yang akan berpengaruh pada sumber daya manusia yang dihasilkan kelak. Oleh sebab itu perlu dibentuk tim pengawas independen dalam pelaksanaan kebijakan tersebut.

Dampak dari komersialisme itu sendiri bisa berdampak negatif dan berdampak positif dalam sebuah lembaga pendidikan. Tergantung dengan bagaimana sebuah lembaga bisa mengelola fasilitas dan sarana yang ada. Karena salah satu tujuan dari sebuah komersialisme itu sendiri adalah masyarakat mampu bersaing dalam era globalisasi ini.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Depdiknas. Undang Undang no.20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional

Kartono, Kartini. Tinjauan Politik Mengenai Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Pradnya Paramita. 1997

Httpp://www. Kebangitan Neo Liberalisme. Com/cetak//06603/228/022html.

Diakses tanggal 8 Juni 2013

http://www.cirebon.suarajabar.com/fokus/opini/183-budaya-komersialisasi-pendidikan-

Diakses tanggal 5 Juni 2013

http://edukasi.kompasiana.com/2012/06/21/makalah-komersialisme-pendidikan-471427.html

Diakses tanggal 5 Juni 2013

http://edukasi.kompasiana.com/2012/05/15/komersialisasi-pendidikan-463180.html

Diakses tanggal 5 Juni 2013

http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=109046

Diakses tanggal 5 Juni 2013

 

 

 

 

 



[2] Depdiknas. Undang Undang no.20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional.

[3] httpp://www. Kebangkitan Neo Liberalisme. com/cetak//06603/228/022.htm.

[5] Lidius Ardi. File//C.\My doc.\Artikel pendidikan. Net Work-Mengkritisi Pendidikan Mahal. Ht.

[6] Kartini kartono. Tinjauan Politik Mengenai Sistem Pendidikan Nasional ,Jakarta: Pradnya Paramita,1997, Hal. 97.

[7] http://www.cirebon.suarajabar.com/fokus/opini/183-budaya-komersialisasi-pendidikan-

 

[8] http://edukasi.kompasiana.com/2012/05/15/komersialisasi-pendidikan-463180.html


Untuk para shabat yang ingin download makalah di atasa silahkan klik link dibawah ini 

DOWNLOAD