BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pendidikan merupakan hal yang sangat penting di dalam kehidupan manusia,
selain kebutuhan pokok seperti sandang, pangan dan papan yang harus dipenuhi.
Tanpa pendidikan, seseorang tidak akan bisa beradaptasi dan diterima oleh
masyarakat di sekitarnya.
Namun, yang terjadi akhir – akhir ini adalah pendidikan yang seharusnya
bertujuan untuk mencerdaskan anak – anak bangsa justru menjadi lahan bisnis
yang membawa berbagai dampak.
Untuk dapat melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinngi harus merogoh
kocek yang tidak sedikit, apalagi sejak maraknya sekolah RSBI atau kepanjangan
dari Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional yang meskipun sampai sekarang
masih dipertanyakan kebenarannya.
Pendidikan sebagai lahan bisnis tidak hanya disebabkan oleh kaum – kaum
penguasa tertentu, bahkan terkadang guru dalam sekolah tersebut juga ikut
campur dalam hal ini. Semua hal yang awalnya bertujuan baik dan mulia kini
tampaknya sudah melenceng dari garis lurus yang seharusnya terpenuhi.
Adapun kaum- kaum yang menjadi tersisih oleh karena munculnya fenomena ini,
yaitu kaum miskin. Lebih miris ketika muncul tulisan – tulisan yang menyebutkan
bahwa “Orang Miskin Dilarang Sekolah!” .
Pernyataan yang disertai tanda seru itu seolah menegaskan bahwa tidak ada
jalan masuk untuk orang miskin bisa sekolah. Tidak ada celah. Kaum miskin
menjadi kamu yang dirugikan ketika ada beberapa pihak yang memanfaatkan
pendidikan menjadi lahan bisnis.
Pendidikan menjadi suatu hal yang hanya bisa dinikmati oleh kaum berduit
saja. Pendidikan dapat dibeli dengan uang dan harga yang mahal. Komersialisme
bidang pendidikan di Indonesia tidak hanya di beberapa tempat saja. Namun sudah
cukup banyak sekolah yang mempersilahkan sekolahnya untuk menjadi lahan bisnis
untuk mendapat keuntungan yang sebesar – besarnya.
B. Tujuan
Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian dari
komersialisme pendidikan
2. Untuk mengetahui
penyebab/aspek-aspek munculnya komersialisme pendidikan.
3. Untuk mengetahui dampak yang
ditimbulkan dari komersialisme pendidikan.
4. Untuk mencari solusi yang tepat
dalam menghadapi komersialisme yang ada pada lembaga pendidikan
5.
Untuk
melengkapi tugas dari mata kuliah “Filsafat Pendidikan”
BAB II
PEMBAHASAN
KOMERSIALISME
PENDIDIKAN
A.
Pengertian Komersialisme
Pendidikan
Komersialisasi
pendidikan dapat bermakna memperdagangkan pendidikan, karena menurut kamus,
kata komersial atau commercialize berarti memperdagangkan. Adapun
istilah “komersialisasi pendidikan”. Sekarang ini istilah komersialisasi pendidikan
mengacu pada dua pengertian yang berbeda, yaitu:
1.
Komersialisasi
pendidikan yang mengacu lembaga pendidikan dengan program serta perlengkapan
mahal. Pada pengertian ini, pendidikan hanya dapat dinikmati oleh sekelompok masyarakat
ekonomi kuat, sehingga lembaga seperti ini tidak dapat disebut dengan istilah
komersialisasi karena mereka memang tidak memperdagangkan pendidikan.
Pemungutan biaya yang tinggi
adalah untuk menfasilitasi jasa pendidikan serta menyediakan infrastruktur
pendidikan yang bermutu, seperti menyediakan fasilitas teknologi informasi,
laboratorium dan perpustakaan yang baik, serta memberikan kepada para guru atau
dosen gaji menurut standar.
Sisa anggaran yang mereka
peroleh, mereka tanamkan kembali bentuk infrastruktur pendidikan.
Komersialisasi pendidikan jenis ini tidak akan mengancam idealisme pendidikan nasional
atau idealisme Pancasila, akan tetapi perlu dicermati juga, karena dapat
menimbulkan pendiskriminasian dalam pendidikan nasional.
2.
Komersialisasi
pendidikan yang mengacu kepada lembaga pendidikan yang hanya mementingkan uang
pendaftaran dan uang kuliah saja, tetapi mengabaikan kewajiban-kewajiban
pendidikan. Komersialisasi pendidikan ini biasanya, dilakukan oleh lembaga atau
sekolah-sekolah yang menjanjikan pelayanan pendidikan tetapi tidak sepadan
dengan uang yang mereka pungut.
Pada lembaga atau sekolah yang
seperti ini, laba atau selisih anggaran yang diperoleh tidak ditanam kembali ke
dalam infrastruktur pendidikan, melainkan dipergunakan untuk memperkaya atau
menghidupi pihak-pihak yang tidak secara langsung bekerja menyajikan pelayanan
di lembaga tersebut. Pihak-pihak tersebut adalah anggota yayasan atau badan amal
pendidikan yang menguasai lembaga pendidikan. Itu hal yang lebih berbahaya
lagi, komersialisasi jenis kedua ini dapat pula melaksanakan praktik pendidikan
untuk maksud memburu gelar akademik tanpa melalui proses serta mutu yang telah
ditentukan sehingga dapat membunuh idealisme pendidikan Pancasila.
Hal tersebut jelas tercantum di
dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada
bab 1 pasal 1 yang berbunyi: Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak yang mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat bangsa dan negara.
Dalam bab tersebut jelas dinyatakan
bahwa pendidikan itu harus melalui proses belajar dan berakhlak mulia, mungkin
ini kurang terdapat dalam komersialisasi pendidikan jenis kedua di atas.
B.
Aspek-Aspek
yang Memunculkan “Komersialisme” Pendidikan
1.
Aspek
Politik
Pendidikan yang merupakan
kebutuhan dasar manusia dan yang harus dipenuhi oleh setiap manusia juga
memiliki aspek politik karena dalam pengelolaan harus berdasarkan ideologi yang
dianut negara. Adapun ideologi pendidikan kita adalah ideologi demokrasi
Pancasila, yaitu setiap warga negara mendapat kebebasan dan hak yang sama dalam
mendapat pendidikan.
Dalam Pembukaan UUD 45 pada
alinea ke-4 , hal ini pun tercermin ada kalimat mencerdaskan kehidupan bangsa.
Atas dasar itu sudah seharusnya pemerintah dalam menetapkan setiap kebijakan
pendidikan merujuk pada ideologi negara. Akan tetapi dalam kenyataannya melalui
pemerintah mengeluarkan peraturan (PP) No. 61 Tahun 1999 tentang Penetapan
Perguruan Tinggi sebagai Badan Hukum, pemerintah telah memberikan otonomi pada
perguruan tinggi dalam mengelola pendidikan lembaganya termasuk pencarian dana
bagi biaya operasionalnya. Akibatnya muncul tempat-tempat pendidikan dengan
biaya mahal dan tidak terjangkau oleh golongan ekonomi lemah, sehingga hak
masyarakat untuk mendapatkan hak yang sama memperoleh pendidikan jauh dari
kenyataan.
Tanpa disadari dunia pendidikan
kita yang berlandaskan Pancasila telah masuk ke dalam mesin giling ideologi
kapitalisme yang lumat dalam mekanisme pasar serta kurang menghiraukan kaum
lemah, malahan menjadi komoditas yang sangat mahal nilainya. Kuasa uang begitu
mudah memasuki arena pendidikan kita yang mengalahkan moralitas pendidikan itu sendiri.
Diakui pendidikan membutuhkan uang tetapi uang bukanlah segala-galanya untuk
meraih pendidikan atas kondisi yang demikian, strata sosial, harkat dan
martabat mereka tetap berada di bawah. Apabila pendidikan tetap mahal dan
dikomersialisasikan, masyarakat yang kurang mampu tidak akan dapat meningkatkan
status sosial mereka, dan ironisnya komersialisasi pendidikan ini didukung oleh
tatanan sosial dan diterima oleh masyarakat.
2.
Aspek Budaya
Budaya bangsa kita mengagungkan gelar
akademis dan sebagai contoh dihampir setiap dinding rumah yang keluarganya
berpendidikan selalu terpajangfoto wisuda anggota keluarga lulusan dari universitas
manapun. Hal ini menunjukkan bahwa bangsa kita masih menganut budaya yang degree
minded.
Budaya berburu gelar ini berkembang
pada lembaga pemerintah yang mengangkat atau mempromosikan pegawai yang
memiliki gelar sarjana tanpa terlebih dahulu diteliti dan dites kemampuan akademik
mereka. Ironisnya program pendidikan seperti ini banyak diminati oleh pejabat-pejabat.
Dengan komersialisasi pendidikan berarti ideologi kapitalisme telah masuk
kampus. Ideologi ini memberikan kebebasan pada individu atau kelompok untuk
berusaha, sementara intervensi pemerintah harus berkurang. Akibat
masuknya ideologi ini akan dapat menggeser pendidikan demokrasi Pancasila kalau
pemerintah tidak cepat tanggap dalam hal ini.
3.
Aspek
Ekonomi
Sudah pasti kita akan membicarakan
aspek ekonomi terkait dengan masalah biaya. Biaya pendidikan nasional
seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah, akan tetapi dengan keluarnya UU
No. 20 Tahun 2003 pada bab XIV pasal 50 ayat 6 dinyatakan bahwa perguruan
tinggi menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan lembaganya.
Hal ini menunjukkan ketidak mampuan pemerintah membiayai pendidikan nasional.
Pasca
munculnya UU Otonomi Daerah yang di dalamnya memuat kebijakan otonomi kampus,
berbagai perguruan tinggi kemudian tidak lagi disubsidi oleh pemerintah. Ada
empat perguruan tinggi, yakni UI, ITB, UGM, dan IPB yang terkena kebijakan itu.
Dengan model pengelolaan Badan Hukum Milik Negara (BHMN), keempat perguruan
tinggi itu tidak lagi memperoleh subsidi. Dan, karenanya, para rektor dituntut
untuk mencari biaya sendiri dengan caranya masing-masing.
Berbagai program pendidikan ditawarkan
oleh pengelola perguruan tinggi untuk memaksimalkan potensi intuisinya dalam
mencari sumber pendanaan. Beberapa perguruan tinggi ternama seperti UI, ITB,
UGM, IPB, dan USU membuka jalur khusus dalam penerimaan mahasiswa baru dengan
tarif mulai dari Rp.15 juta sampai dengan Rp.150 juta. Hal
ini terjadi akibat dari lepasnya tanggung jawab pemerintah dalam membiayai
pendidikan sehingga berdampak pada komersialisasi pendidikan di perguruan
tinggi negeri (berstatus BHMN), yang tentu saja menguntungkan. Alasan untuk
menciptakan pendidikan yang bermutu perlu biaya besar dan mahal bagi kalangan
masyarakat yang kehidupan ekonominya lemah, maka status BHMN akan menjadi momok
yang menakutkan.
4.
Aspek
Sosial
Aspek
sosial terkait dengan dari hubungan dengan manusia. Pendidikan sangat menentukan
perubahan strata sosial seseorang, yaitu semakin tinggi pendidikan seseorang,
akan semakin meningkat pula strata sosialnya, begitu juga sebaliknya.
Sesuai
dengan pendapat Kartono (1997: 97)
yang menyatakan: tingginya tingkat pendidikan dan tingginya taraf kebudayaan
rakyat akan menjadi barometer bagi pertumbuhan bangsa dan negara yang
bersangkutan. Akan tetapi bagaimana orang dapat, mencapai pendidikan tinggi
apabila biaya pendidikan tersebut mahal dan hanya dapat dinikmati oleh
masyarakat golongan ekonomi mapan saja.
C.
Dampak Komersialisme Pendidikan
Pendidikan yang dikemukakan merupakan hak asasi yang
dimiliki oleh setiap warga Negara, kini justru memberikan kenyataan yang
sebaliknya. Pendidikan menjadi barang mahal yang hanya terbeli oleh kalangan
berkantong tebal. Tujuan yang diharapkan dari adanya pendidikan adalah untuk
merubah sikap dan perilaku seseorang menjadi lebih baik dan menuju ke tingkat
pendewasaan dalam arti yang positif melalui transfer pengetahuan.
Namun pendidikan pada umumnya identik dengan sekolah,
sehingga banyak orang melihat bahwa orang yang tidak sekolah adalah orang yang
tidak berpendidikan. Seseorang dianggap mengenyam pendidikan pendidikan jika ia
pernah atau telah menempuh sekolah. Orang yang terdidik dianggap sebagai
seseorang yang telah menyandang gelar tertentu dari proses belajar mengajar di
sekolah ataupun lembaga formal.
Pendefinisian pendidikan pun telah melenceng dari arti
yang sebenarnya. Hal ini memicu timbulnya komersialisme pendidikan. Komersialisme pendidikan yaitu suatu
fenomena dimana terdapat pihak – pihak tertentu yang bermaksud atau sudah
menguasai dan menjadikan sarana pendidikan (sekolah dan sarana prasarananya)
untuk dijadikan peluang usaha atau lahan bisnis yang dapat menghasilkan
keuntungan.
Pendidikan yang seharusnya bisa dinikmati oleh semua
kalangan dari kelas manapun, kini semenjak munculnya komersialisme pendidikan,
menyebabkan beberapa dampak diantaranya:
1. Semakin sempitnya ruang bagi kaum –
kaum tertentu untuk dapat menikmati pendidikan
2. Muncul diskriminasi bagi rakyat
kecil yang tidak dapat membayar harga cukup mahal untuk mereka mengenyam
pendidikan.
3. Semakin banyak kaum yang berkuasa
disebuah lembaga pendidikan dan semakin tinggi persaingannya.
4. Banyak pihak yang menjadikan sekolah
sebagai lahan bisnis. Apalagi sejak munculnya RSBI, banyak sekolah yang ingin
mendapatkan gelar sebagai RSBI.
Gelar RSBI juga disalah artikan, banyak pihak – pihak
baik dari dalam maupun dari luar sekolah yang memanfaatkan gelar tersebut
dengan mematok harga tinggi bagi siswa – siswanya untuk mereka dapat melanjutkan
pendidikan. Biaya dalam hitungan jutaan, menjadi monster yang menakutkan bagi
rakyat miskin yang ingin menempuh pendidikan lebih tinggi namun tidak memiliki
cukup biaya untuk mendapatkan pendidikan di sekolah yang seharusnya layak dan
pantas mereka terima.
Mahalnya biaya pendidikan menyebabkan banyak orang tua
putus asa, karena kebutuhan yang harus dipenuhi bukan saja hanya pendidikan,
namun masih ada kebutuhan pokok seperti sandang, pangan dan papan yang harus
dipenuhi dengan biaya yang juga tidak sedikit.
Banyak orang tua gelisah dan cemas memikirkan masa
depan anak – anaknya jika mereka tidak bisa mendapat sekolah yang layak sebagai
tempat untuk mereka mendapat bekal masa depan untuk kehidupan yang lebih baik.
Banyak yang memutuskan untuk putus sekolah, entah menjadi pengangguran ataupun
memutuskan untuk bekerja di usia yang masih sangat muda.
Namun
adapula beberapa dampak positif dari
komersialisme pendidikan ini, Sebagai contoh di Perguruan Tinggi Swasta Pelita
Harapan yang memungut biaya puluhan juta rupiah per semester, ini menyediakan
berbagai fasilitas terutama teknologi informasi serta tenaga pengajar yang
bertaraf internasional. Tampaknya perguruan tinggi serupa ini disediakan khusus
bagi kalangan atas dan mahasiswa disiapkan benar-benar mampu bersaing dalam era
globalisasi.
Komersialisasi
pendidikan jenis ini perlu didukung karena kita harus menyadari bahwa
masyarakat kita terdiri dari berbagai segmen ekonomi yang berbeda. Menyediakan
perguruan tinggi dengan biaya mahal dan bertaraf internasional berarti kita
telah menarik masyarakat yang mempunyai kemampuan dalam finansial untuk
menyekolahkan anak mereka di dalam negeri dan tidak lagi harus ke luar negeri.
Ini akan mencegah masuknya devisa negara kita ke negara asing dan sangat membantu
perekonomian indonesia
.
.
D.
Contoh Budaya
Komersialisme yang terjadi di Kalangan Pendidikan
Contoh
budaya komersil dikalangan pendidikan belakangan ini semakin banyak bermunculan
di berbagai perguruan tinggi di Indonesia, yaitu IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Misalnya, lahan pendidikan yang seharusnya menjadi tempat
pengembangan karakter, disulap menjadi lahan usaha oleh oknum dosen. Berbagai
bentuk komersialisasi tersebut nampak jelas membudaya.
Kondisi
ini sangat memprihatinkan, yang pada akhirnya berdampak terhadap menurunnya
mutu pendidikan serta merusak budaya bangsa tanpa menghiraukan lagi nilai-nilai
moral; Mengebiri mahasiswa untuk mendapatkan hak pendidikan yang selayaknya.
Jika fenomena seperti ini masih tetap dibiarkan, maka imbasnya akan dirasakan
hingga ke dalam tubuh instansi tersebut. Yang lebih parahnya lagi akan mencekik
kehidupan sosial masyarakat kalangan bawah dalam hal ini ialah mahasiswa yang
kurang mampu.
Salah
satu bentuk komersialisasi yang terjadi di perguruan tinggi adalah
penyalahgunaan profesi yang dilakukan oleh beberapa dosen. Memanfaatkan celah
untuk menjadikan lahan bisnis adalah bukti nyata yang terjadi dalam sebuah
kampus.
Banyak
mahasiswa yang resah dengan dosen yang mengkomersilkan mata kuliah nya dengan
alasan "nilai". Mereka diwajibkan mengikuti bimbingan satu mata
kuliah dengan pungutan biaya yang cukup besar, bahkan sampai beberapa kali.
Yang
lebih lucunya lagi adanya oknum dosen yang mengharuskan mahasiswanya membeli
bahan mata kuliah berbentuk lembaran fotocopy_an, namun dengan harga yang tidak
manusiawi. Jelas-jelas praktek seperti
ini bertolak belakang dengan kode etik dosen itu sendiri. Dimana seorang dosen
tidak diperbolehkan menjual barang atau bacaan dengan unsur paksaan.
Sebagai
kalangan intelektual (dosen), semestinya dapat memberikan pelayanan yang lebih
baik, bukan malah sebaliknya. Menutup mata dan telinga seakan tidak peduli
dengan keluhan beberapa mahasiswa-nya. Sungguh ironis pendidikan sekarang ini
khususnya di IAIN.
Timbulnya
komersialisasi pendidikan di tubuh IAIN tidak jauh dari pengaruh politik, sosial,
budaya bahkan ekonomi. Aspek-aspek inilah yang menjadi pemicu utama lahirnya
komersialisasi. Tidak bisa dipungkiri lagi dunia pendidikan nasional_pun
terkontaminasi muatan politik, karena dalam pengelolaannya pendidikan harus
bedasarkan ideologi yang dianut negara.
Adapun
ideologi pendidikan negara kita adalah ideologi demokrasi Pancasila, yaitu
setiap warga negara mendapat kebebasan dan hak yang sama dalam mendapat
pendidikan. Hal ini tertuang dalam Pembukaan UUD 45 pada alinea ke-empat.
Namun
pada kenyataannya hak masyarakat untuk mendapatkan pendidikan yang sama pun
masih jauh dari apa yang tertuang dalam UUD 45. Dengan demikian beberapa aturan
yang telah ditetapkan hanyalah omong kosong belaka. Padahal pendidikan
merupakan kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi setiap individu itu
sendiri.
Kini
pendidikan yang berlandaskan Pancasila sudah masuk ke dalam mesin giling
ideologi kapitalisme, melebur dalam mekanisme pasar tanpa menghiraukan kaum
lemah. Bahkan fenomena ini tergolong klasik untuk kita dengar, seperti hukum
rimba “siapa yang kuat dia adalah pemenangnya”, sehingga tidak berlaku untuk
golongan kaum bawah. Akibat longgarnya sanksi sosial dan kurangnya kontrol
lembaga khususnya di IAIN, komersialisasi pendidikan tumbuh subur serta
membentuk social gap atau diskriminasi dalam pendidikan antara masyarakat
(mahasiswa) yang mampu dengan yang tidak mampu.
Fenomena
dan fakta pendidikan seperti ini merupakan suatu masalah yang lambat laun
secara politik bakal menumbuh suburkan culture capitalism maupun ideologi
neoliberilsm di lembaga pendidikan IAIN dengan modus klasik “komersialisasi
pendidikan”.
Sudah
cukup penderitaan yang diemban masyarakat kaum bawah dengan adanya praktek
komersialisasi pendidikan tersebut. Kita tidak pernah sadar betapa pentingnya
pendidikan yang sehat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Apakah kita masih
harus tetap diam dengan pendidikan yang seperti ini...?
E.
Solusi Terhadap Komersialisme Pendidikan
Munculnya komersialisasi
pendidikan
adalah
sebagai akibat dari pelepasan tanggung
jawab pemerintah yang telah mencabut
subsidi pembiayaan terutama pada
perguruan tinggi dan pemberian hak
otonomi serta status BHMN pada perguruan
tinggi negeri. Hal ini mengakibatkan
ideologi kapitalisme mulai
merebak di dalam dunia pendidikan
yang pada akhirnya lebih mengutamakan
keuntungan bagi pihak-pihak tertentu
saja.
Komersialisasi di perguruan tinggi negeri
boleh-boleh
saja
asalkan mutu pendidikan tetap dipertahankan
dan pola akses masuk anak
didik untuk masuk perguruan inggi
negeri jangan sampai diubah.
Komersialisasi di perguruan
tinggi negeri dengan jalur khususnya bertujuan untuk mengumpulkan
modal untuk membiayai pendidikan
mereka. Akan bisa positif bila dalam
pelaksanaannya, uang tersebut diputarkan
dengan cara penanaman modal
di bursa atau sertifikat Bank Indonesia,
obligasi/swasta yang dapat memberikan
keuntungan hingga dapat dipergunakan
Universitas. Dengan cara seperti
ini modal pokok tidak terpakai (sepert i Jamsostek).
Untuk operasionalnya: harus ada Fund
Manager yang duduk di Universitas yang
ahli dalam pemutaran dan mencari saluran
dana yang dapat memberikan keuntungan
untuk membiayai universitas. Fund
manager letaknya di bawah rektor yang
diangkat oleh rektorat, dan ia harus mempunyai
staf sendiri bukan
merupakan
pekerjaan sambilan.
Komersialisasi pendidikan memang perlu dan terkadang
sangan diperlukan tetapi jangan sampai semua itu menjadi orientasi utama dari
proses pendidikan karena hal itu akan menyebabkan membiasnya esensi pendidikan
dan tidak tercapainya tujuan pendidikan.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Seperti
yang telah disebutkan, pengertian komersialisasi pendidikan mengacu pada dua
hal yaitu komersialisasi dalam arti:
1.
Memungut
biaya mahal dengan fasilitas pendidikan yang mewah, lengkap, tenaga pengajar
berkualitas dan bertaraf Internasional
2.
Komersialisasi
didasarkan pada pengambilan keuntungan semata untuk mencapai hasil dan gelar
dengan jalan pintas tanpa melalui proses pembelajaran.
Dari
kedua jenis komersialisasi itu, maka komersialisasi jenis kedua dianggap tidak
berkualitas yang akan berpengaruh pada sumber daya manusia yang dihasilkan kelak.
Oleh sebab itu perlu dibentuk tim pengawas independen dalam pelaksanaan
kebijakan tersebut.
Dampak
dari komersialisme itu sendiri bisa berdampak negatif dan berdampak positif
dalam sebuah lembaga pendidikan. Tergantung dengan bagaimana sebuah lembaga
bisa mengelola fasilitas dan sarana yang ada. Karena salah satu tujuan dari
sebuah komersialisme itu sendiri adalah masyarakat mampu bersaing dalam era
globalisasi ini.
DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas.
Undang Undang no.20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional
Kartono, Kartini. Tinjauan
Politik Mengenai Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Pradnya Paramita.
1997
Httpp://www.
Kebangitan Neo Liberalisme. Com/cetak//06603/228/022html.
Diakses
tanggal 8 Juni 2013
http://www.cirebon.suarajabar.com/fokus/opini/183-budaya-komersialisasi-pendidikan-
Diakses tanggal 5 Juni 2013
http://edukasi.kompasiana.com/2012/06/21/makalah-komersialisme-pendidikan-471427.html
Diakses tanggal 5 Juni 2013
http://edukasi.kompasiana.com/2012/05/15/komersialisasi-pendidikan-463180.html
Diakses tanggal 5 Juni 2013
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=109046
Diakses tanggal 5 Juni 2013
Depdiknas. Undang Undang no.20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan
Nasional.
httpp://www.
Kebangkitan Neo Liberalisme. com/cetak//06603/228/022.htm.
Lidius Ardi. File//C.\My doc.\Artikel
pendidikan. Net Work-Mengkritisi Pendidikan
Mahal. Ht.
Kartini
kartono. Tinjauan Politik Mengenai Sistem Pendidikan Nasional ,Jakarta:
Pradnya Paramita,1997, Hal. 97.
http://www.cirebon.suarajabar.com/fokus/opini/183-budaya-komersialisasi-pendidikan-