BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Tidak diragukan lagi bahwa Syariat Islam adalah penutup semua risalah samawiyah, yang membawa petunjuk dan tuntunan Allah Swt untuk ummat manusia dalam wujudnya yang lengkap dan final. Itulah sebabnya, dengan posisi seperti ini, maka Allah pun mewujudkan format Syariat Islam sebagai syariat yang abadi dan komperhensif.
Hal itu dibuktikan dengan adanya prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum yang ada dalam Islam yang membuatnya dapat memberikan jawaban terhadap hajat dan kebutuhan manusia yang berubah dari waktu ke waktu, seiring dengan perkembangan zaman. Secara kongkrit hal itu ditunjukkan dengan adanya dua hal penting dalam hukum Islam: (1) nash-nash yang menetapkan hukum-hukum yang tak akan berubah sepanjang zaman dan (2) pembukaan jalan bagi para mujtahid untuk melakukan ijtihad dalam hal-hal yang tidak dijelaskan secara sharih dalam nash-nash tersebut.
Sebagaimana diketahui bahwa hukum merupakan salah satu aspek terpenting dalam Islam disamping beberapa aspek terpenting lainnya. Dengan adanya hukum, manusia bersama komunitasnya dapat menjalankan beragam aktivitasnya dengan tenang dan tanpa ada perasaan was-was. Dan dengan hukum pula manusia dapat mengetahui manakah pekerjaan-pekerjaan yang diperbolehkan dan apa sajakah pekerjaan-pekerjaan yang tidak diperbolehkan untuk dilakukan. Fiqih sebagai sebuah produk hukum tentu perlu mendapat penjelasan tentang apa dan bagaimana Fiqih bisa menjadi sebuah ketetapan hukum.
B. Rumusan makalah
1. Apa pengertian fiqh secara etimologi dan terminologi?
2. Bagaimana sejarah fiqh pada masa Rosulloh saw sampai periode Imam Mujtahid?
3. Apa pengertian hukum Islam?
4. Bagamana usaha pembagian hukum Islam?
5. Apa saja sumber perumusan hukum Islam?
C. Tujuan penulisan
1. Mengetahui fiqh secara bahasa dan istilah
2. Mengetahui sejarah fiqh
3. Mengetahui pengertian hukum Islam
4. Mengetahui bagian hukum Islam
5. Mengetahui sumber hukum dalam agama Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Fiqh
Kata fiqh (الفقه) secara etimologis berarti “paham yang mendalam”. Bila “paham” dapat digunakan untuk hal-hal yang bersifat lahiriyah, maka fiqh berarti paham yang menyampaikan ilmu zhahir kepada ilmu batin. Karena itulah al-Thirmizi meyebutkan, “Fiqh tentang sesuatu” berarti mengetahui batinnya sampai kepada yang kedalamannya.[1]
Secara termilnologis fiqh (الفقه) berarti “Ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliah yang digali dan ditentukan dari dalil-dalil yang tafsili”. Dalam definisi ini, fiqh diibaratkan dengan ilmu karena fiqh itu semacam ilmu pengetahuan. Memang fiqh itu tidak sama dengan ilmu seperti disebutkan di atas, fiqh itu bersifat zhanni.fiqh adalah apa yang dapat dicapai oleh mujtahid dengan zhannya, sedangkan ilmu tidak bersifat zhanni seperti fiqh. Namun karena zhan dalam fiqh ini kuat, maka ia mendekati pada ilmu; karenanya dalam definisi ini ilmu digunakan juga untuk fiqh.[2]
Kata”hukum” dalam definisi tersebut menjelaskan bahwa hal-hal yang berada di luar apa yang dimaksud dengan kata “hukum”, seperti zat, tidaklah termasuk dalam pengertian fiqh. Bentuk jamak dari hukum adalah “ahkam”. Disebut dalam bentuk jamak, adalah untuk menjelaskan bahwa fiqh itu ilmu tentang seperangkat aturan yang disebut hukum.
Penggunaan kata “syar’iyyah” atau “syariah” dalam definisi tersebut menjelaskan bahwa fiqh itu menyangkut ketentuan yang bersifat syar’i, yaitu sesuatu yang berasal dari kehendak Allah swt. Kata ini sekaligus menjelaskan bahwa sesuatu yang bersifat ‘aqli seperti ketentuan bahwa dua kali dua adalah empat atau bersifat hissi seperti ketentuan bahwa api itu panas bukanlah lapangan ilmu fiqh.
Kata “amaliah” yang yang yerdapat dalam definisi di atas menjelaskan bahwa fiqh itu hanya menyangkut tindak tanduk manusia yang bersifat lahiriyah. Dengandemikian hal-hal yang bersifat bukan amaliah seperti masalah keimanan atau aqidah tidak termasuk dalam lingkungan fiqh dalam arti ini.
Penggunaan kata “digali dan ditentukan” mengandung arti bahwa fiqh itu adalah hasil penggalian, penemuan, penganalisan, dan menentukan ketetapan tentang hukum. Karenanya bila bukan dalam bentuk hasil suatu penggalian seperti mengetahui apa-apa secara lahir dan jelas dikatakan Allah swt tidak disebut fiqh. Fiqh itu adalah hasil penemuan mujtahid dalam hal-hal yang tidak dijelaskan oleh nash.
Kata “tafsili” dalam definisi itu menjelaskan tentang dalil-dalil yang digunakan seorang faqih atau mujtahid dalam penggalian dan penemuannya. Karena itu, ilmu yang diperoleh orang awam dari seorang mujtahid yang terlepas dari dalil tidak termasuk ke dalam pengertian fiqh.
Al-Amidi memberikan definisi fiqh yang berbeda dengan difinisi diatas, yaitu: “Ilmu tentang seperangkat hukum-hukum syara’ yang bersifat furu’iyah yang berhasil didapatkan melalui penalaran atau istidlal”.[3]
Kata “furu’iyah” dalam definisi al-Amidi ini menjelaskan bahwa ilmu tentang dalil dan macam-macamnya sebagai hujjah, bukanlah fiqh menurut artian ahli ushul, sekalipun yang diketahui itu adalah hukum yang bersifat nazhari.
Penggunaan kata “penalaran” dan “iatidlal” (yang sama maksudnya dengan “digali”) menurut istilah Ibnu Subki atas memberikan penjelasan bahwa fiqh itu adalah hasil penalaran dan istidlal. Ilmu yang diperoleh bukan dengan cara seperti itu- seperti ilmu Nabi tentang apa yang diketahuinya dengan perantaraan wahyu-tidak disebut fiqh.
Dengan menganalisa kedua definisi yang disebutkan di atas dapat ditemukan hakikat dari fiqh yaitu:
a. Fiqh itu adalah ilmu tentang hukum Allah swt.
b. Yang dibicarakan adalah hal-hal yang bersifat amaliyah furu’iyah.
c. Pengetahuan tentang hukum Allah swt itu didasarkan kepada dalil tafsili.
d. Fiqh itu digali dan ditemukan melalui penalaran dan istidlal seorangmujtahid atau faqih.
Dengan demikian secara ringkas dapat dikatakan, “Fiqh itu adalah dugaan kuat yang dicapai seorang mujtahid dalam usahanya menentukan hukum Allah.”
Dari pengertian fiqh dan syari’ah di atas terlihat kaitan yang sangat erat antara fiqh dengan syari’ah. Syari’ah diartikan dengan ketentuan yang ditetapkan Allah swt tentang tingkah laku manusia di dunia dalam mencapai kehidupan yang baik di dunia dan di akhirat. Ketentuan Allah swt itu terbatas dalam firman Allah swt dan penjelasannya yang diwahyukan melalui lisan Nabi.
B. Sejarah dan Perkembangan Fiqh
1. Fiqh pada Masa Nabi
Bila kita memahami pengertian fiqh itu sebagai hasil penalaran seorang ahli atas maksud hukum Allah swt yang berhubungan dengan tingkah laku manusia, maka timbul pertanyaan apakah fiqh itu sudah mulai ada pada waktu Nabi Muhammad saw masih hidup?
Suatu hal yang nyata terjadi bahwa Nabi telah berbuat sehubungan dengan turunnya ayat-ayat Qur’an yang mengandung hukum (ayat-ayat hukum). Tidak semua ayat hukum itu memberikan penjelasan yang mudah dipahami untuk kemudian untuk dilaksanakan secara praktis sesuai dengan kehendak Allah swt. Karena itu Nabi memberikan penjelasan mengenai maksud setiap ayat hukumitu pada umatnya, sehingga ayat-ayat yang tadinya belum dalam bentuk petunjuk praktis, menjadi jelas dan dapat dilaksanakan secara praktis. Nabi memberikan penjelasan dengan ucapan, perbuatan, dan pengakuannya yang kemudian disebut sunnah Nabi. Apakah hukum-hukum yang bersifat amaliyah yang dihasilkanoleh Nabi yang bersumber kepada al-Qur’an itu dapat disebut fiqh?
Telah dijelaskan bahwa fiqh adalah hasil penalaran seseorang yang berkualitas mujtahid atas hukum Allah swt atau hukum-hukum amaliyah yang dihasilkan dari dalil-dalilnya melalui penalaran atau ijtihad. Apabila penjelasan dari Nabi yang berbentuk sunnah itu merupakan hasil penalaran atas ayat-ayat hukum amaliyah, maka apa yang dikemukakan Nabi itu dapat disebut fiqh atau lebih tepat disebut “Fiqh Sunnah”.
Kemungkinan Nabi melakukan ijtihad dalam menghasilkan sunnahnya dipersilisihkan para ulama. Perbedaan pendapat itu berpangkal pada pemahaman ayat 3-4 surat al-Najm (53):
$tBur ß,ÏÜZtƒ Ç`tã #“uqolù;$# ÇÌÈ ÷bÎ) uqèd žwÎ) ÖÓórur 4ÓyrqムÇÍÈ
“Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”.
Ada ulama yang memahami ayat ini secara umum, bahwa semua yang diucapkan Nabi dalam usahanya dalam memberi penjelasan atas ayat hukum atau bukan adalah atas dasar wahyu. Sedangkan ulama lain memahaminya bahwa yang dimaksud ayat itu adalah ayat-ayat al-Qur’an yang diterima Nabi dan dismpaikan kepada umatnya; itulah yang disebut wahyu. Tetapi tidak semua yang muncul dari lisan Nabi disebut wahyu.
Perbedaan pendapat ulama dalam memahami ayat tersebut kemudian berkembang pada kebolehan atau kemungkinan Nabi berijtihad.[4]
2. Fiqh pada Masa Sahabat
Dengan wafatnya Nabi Muhammad saw sempurnakanlah turunnya ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah Nabi, juga dengan sendirinya sudah berhenti. Kemudian terjadi perubahan yang besar sekali dalam kehidupan masyarakat, karena telah meluasnya wilayah Islam dan semakin kompleksnya kehidupan umat.
Keimanan umat yang sudah tinggi dan kepatuhannya tingkah laku sehari-hari dengan nilai agama. Karena itu umat memerlukan jawaban hukum dalam menghadapi setiap persoalan dalam kehidupannya.
Ada tiga hal pokok yang berkembang waktu itu sehubungan dengan hukum.
Pertama, begitu banyaknya muncul kejadian baru yang membutuhkan jawaban hukum secara lahiriyah tidak dapat ditemukan jawabannya dalam al-Qur’an maupun penjelasan dari Sunnah Nabi.
Kedua, timbulnya masalah-masalah yang secara lahir telah diatur ketentuan hukumnya dalam al-Qur’an maupun Sunnah Nabi, namun ketentuan dalam keadaan tertentu sulit untuk diterapkan dan menghendaki pemahaman baru agar relevan dengan perkembangan dan persoalan yang dihadapi.
Ketiga, dalam al-Qur’an ditemukan penjelasan terhadap sesuatu kejadian secara jelas dan terpisah. Bila hal tersebut berlaku dalam kejadian tertentu, para sahabat menemukan kesulitan dalam menetapkan dalil-dalil yang ada.
Ketiga pokok masalah di atas memerlukan pemikiran mendalam atau nalar dari para ahli yang disebut ijtihad. Dalam menghadapi hal tersebut berkembang lah pemikiran para sahabat.[5]
3. Fiqh pada Masa Imam Mujtahid
Bila pada masa Nabi sumber fiqh adalah al-Qur’an, maka pada masa sahabat dikembangkan dengan dijadikannya petunjuk Nabi dan ijtihad sebagai sumber menetapkan fiqh. Sesudah para sahabat, penetapan fiqh dengan menggunakan sunnah dan ijtihad ini sudah begitu berkembang dan meluas. Dalam kadar penerimaan dua sumber itu terlihat kecenderungan mengarah pada dua bentuk.
Pertama, dalam menetapkan hasil ijtihad lebih banyak menggunakan hadis Nabi dibandingkan dengan menggunakan ijtihad, meskipun keduannya tetap tetap dijadikan sumber. Kelompok yang menggunakan cara ini bisa disebut “Ahlal Hadis”. Kelompok ini lebih banyak tinggal di wilayah Hijaz, khususnya Madinah.
Kedua, dalam menetapkan fiqh lebih banyak menggunakan sumber ra’yu ketimbang hadis, meskipun hadis juga banyak digunakan. Kelompok ini disebut “Ahl al-Ra’yu”. Kelompok ini lebih banyak mengambil tempat wilayah Irak, khususnya Kufah dan Basrah.[6]
C. Pengertian hukum Islam
Hukum Islam merupakan rangkaian dari kata “Hukum” dan kata “Islam”. Kedua kata itu, secara terpisah, merupakan kata yang digunakan dalam bahasa Arab dan terdapat dalam al-Qur’an, juga berlaku dalam bahasa Indonesia. “Hukum Islam” sebagai suatu rangkaian kata telah menjadi bahasa Indonesia yang hidup dan terpakai, namun bukan merupakan kata yang terpakai dalam bahasa Arab, dan tidak ditemukan dalam al-Qur’an; juga tidak ditemukan dalam literatur yang berbahasa Arab. Karena itu kita tidak akan menemukan artinya secara definitif.
Untuk memahami hukum Islam, perlu diketahui lebih dahulu kata “hukum” dalam bahasa Indonesia, kemudian pengertian hukum disandarkan kepada kata”Islam”. Ada kesulitan dalam memberikan definisi kepada kata “hukum” kerena setiap definisi akan menemukan titik lemah. Karena itu, untuk memudahkan pengertian hukum, berikut ini akan ditengahkan difinisi hukum secara sederhana, yaitu: “Seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang diakui sekelompok masyarakat;disusun orang-orang yang diberi wewenang oleh masyarakat itu;berlaku dan mengikat untuk seluruh anggotanya”.
Bila kata “hukum” menurut definisi diatas dihubungkan kepada “Islam” atau “Syara”, maka “Hukum Islam” akan berarti: “seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rosul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua yang beragama Islam”.[7]
Kata “seperangkat aturan” menjelaskan bahwa yang dimaksud hukum Islam itu adalah peraturan yang dirumuskan secara terperinci dan mempunyai kekuatan yang mengikat.
Kata “yang berdasarkan whyu Allah dan Sunnah Rosul” menjelaskan bahwa perangkat peraturan itu digali dari dan berdasrkan kepada wahyu Allah swt dan Sunnah Rosul, atau yang populer dengan sebutan “syari’ah”.
Kata “tentang tingkah laku manusia mukallaf” mengandung arti bahwa hukum Islam itu mengatur tindak lahir dari manusia yang dikenai hukum. Peraturan tersebut berlaku dan mempunyai kekuatan terhadap orang-orang yang meyakini kebenaran wahyu dan Sunnah Rosul itu, yang dimaksud dalam hal ini adalah umat Islam.
D. Usaha pembagian lapangan Hukum Islam
Sebenarnya usaha-usaha untuk mengadakan pembagian hukum Islam sudah dirintis oleh fuqaha-fuqaha dari masa-masa yang lalu, meskipun masih bersifat sederhana dari masa-masa yang lalu, oleh karena itu tidak mencerminkan kecakupan hukum Islam yang sebenarnya. Meskipun terjadi perbedaan dalam mengadakan pembagian, namun ada lapangan pokok hukum Islam sudah disepakati oleh semua fuqaha, yaitu lapangan ibadah dan lapangan mu’amalat. Lapangan mu’amalat ini kadang disebut lapangan Adat,yaitu tata aturan yang dimaksudkan untuk mengatur hubungan manusia sebagai perseorangan maupun sebagai golongan, atau aturan untuk mewujudkan kepentingan duniawi.
Pada masa sekarang, ada sementara penulis yang membagi lapangan hukum Islam selain ibadah, menurut sistim pembagian pada hukum positif (barat), yaitu menjadi hukum privat (al-qanunul-khaas), dan hukum umum (Al-qununul-‘aamm). Hukum privat Islam meliputi hukum-hukum perdata (mu’amalat), hukum dagang (at-tijarah) dan hukum acara (al-murafa’at) dan hukum privat internasional (ad-dauliyyul-khas).[8]
1. Hukum ibadah
Bagian ibadah tidak ada persamaannya pada hukum positif (barat). Bagian tersebut membicarakan tentang hubungan manusia dengan Tuhan. Hukum-hukum yang berhubungan dengan lapangan ibadah bersumber pada has-nas dari Syara’ pada tergantung kepada pemahaman maksudnya atau alasan-alasannya. Hukum-hukum tersebut bersifat abadi dengan tidak berpengaruh oleh perbedaan lingkungan dan zaman. Oleh karena itu persoalan ibadah sudah dijelaskan secukupnya oleh Rosul saw.
Pembicaan tentang ibadah meliputi bab-bab thaharah yang meliputi suci dari kotoran, wudlu’, mandi, dan tayamum. Shalat dengan segala macam dan caranya.
2. Hukum Keluarga
Hukum keluarga mengatur hubungan seorang laki-laki dengan istri dan keluarganya. Hukum keluarga meliputi : Pernikahan, Warisan, Wasiat, dan Wakaf.
3. Hukum Privat
Yang dimaksud dengan hukum privat di sini ialah apa yang bisa disebut dikalangan fuqaha dengan nama “Fiqh mu’amalat” dalam arti yang khusus, yaitu mu’amalat- kebendaan (pergaulan sekitar perbendaan), atau yang biasa disebut dengan hukum positif dengan nama hukum privat.
4. Hukum Pidana
Hukum pidana Islam ialah sekumpulan aturan yang mengaturcara melindungi dan menjaga keselamatan hak-hak dan kepentingan masyarakat (nagara) dan anggota-anggotanya. Dari perbuatan-perbuatan yang tidak dibenarkan. Fuqaha-fuqaha Islam membicarakan lapangan hukum pidana dalam bab “jinayat” dan “hudud”.
5. Siasah Syar’iyah
Yang menjadi pembicaraan lapangan siasah syar’iyah ialah hubungan antara negara dan pemerintah dengan warga negaranya (penduduknya). Disebut juga “Al-Fiqhud-Dusturi” (Ilmu Kenegaraan)
6. Hukum Internasional
Hukum internasional dibagi menjadi dua, yaitu hukum perdata internasional dan hukum publik internasional.
a. Hukum perdata internasional
Hukum perdata internasional ialah kumpulan aturan-aturan yang menerangkan hukum mana yang berlaku, dari dua hukum atau lebih, apabila ada unsur orang asing dalam suatu persoalan hukum,
b. Hukum publik internasional
Lapangan hukum ini mengatur hubungan antara negara Islam dengan Negara lain. Atau antar Negara Islam dengan warga negara dari negara lain. Bukan dalam lapangan keperdataan.
E. Sumber-sumber Hukum Islam
Sudah disepakati oleh kaum muslimin bahwa tiap-tiap peristiwa tentu ada ketentuan-ketentuan hukumnya, baik berdasarkan nas yang tegas ataupun nas yang tidak tegas, maupun tidak berdasarkan nas. Kemudian timbul perbedaan pendapat tentang sumber-sumber hukum tersebut. Ada yang mengatakan dua saja, ada yang mengatakan empat dan ada pula yang mengatakan lebih dari sepuluh.
Pada kali ini akan dibahas sumber-sumber hukum Islam yang sudah disepakati maupun yang belum disepakati yaitu : 1. Al-Qur’an, 2. Hadis, 3. Ijma’, 4. Qiyas, 5. Ihtisan, 6. Maslahah-Murshalah, 7. Urf, 8. Pendapat sahabat, 9. Istishab, 10. Saddud-dzarai’i, 11. Syara’ umat sebelum kita.
Terhadap keempat hukum tersebut bila diadakan penggolongan-penggolongan berdasarkan : 1. Sumber-sumber yang berupa nas dan sumber yang tidak berupa nas. 2. Sumber-sumber naqli dan sumber aqli (fikiran). 3. Sumber yang sudah disepakati dan yang belum disepakati. 4. Sumber-sumber pokok dan sumber tambahan. 5. Sumber-sumber dari syara’ (Qur’an dan hadis) dan sumber-sumber dari fiqh.[9]
BAB III
PENUTUP
Setelah dibahas panjang lebar tentang fiqh dan hukum Islam yang merupakan judul makalah ini, dalam bab terakhir ini akan ditarik beberapa kesimpulan.
1. Fiqh (الفقه) berarti “Ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliah yang digali dan ditentukan dari dalil-dalil yang tafsili”. Dalam definisi ini, fiqh diibaratkan dengan ilmu karena fiqh itu semacam ilmu pengetahuan.
Al-Amidi memberikan definisi fiqh yang berbeda dengan difinisi diatas, yaitu: “Ilmu tentang seperangkat hukum-hukum syara’ yang bersifat furu’iyah yang berhasil didapatkan melalui penalaran atau istidlal”.
2. Sejarah dan Perkembangan Fiqh
a. Fiqh pada Masa Nabi
Nabi memberikan penjelasan mengenai maksud setiap ayat hukumitu pada umatnya, sehingga ayat-ayat yang tadinya belum dalam bentuk petunjuk praktis, menjadi jelas dan dapat dilaksanakan secara praktis. Nabi memberikan penjelasan dengan ucapan, perbuatan, dan pengakuannya yang kemudian disebut sunnah Nabi. Apakah hukum-hukum yang bersifat amaliyah yang dihasilkanoleh Nabi yang bersumber kepada al-Qur’an
b. Fiqh pada masa sahabat
Dengan wafatnya Nabi Muhammad saw sempurnakanlah turunnya ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah Nabi, juga dengan sendirinya sudah berhenti. Kemudian terjadi perubahan yang besar sekali dalam kehidupan masyarakat, karena telah meluasnya wilayah Islam dan semakin kompleksnya kehidupan umat.
c. Fiqh pada masa Mujtahid
Dalam kadar penerimaan dua sumber itu terlihat kecenderungan mengarah pada dua bentuk.
Pertama, dalam menetapkan hasil ijtihad lebih banyak menggunakan hadis Nabi dibandingkan dengan menggunakan ijtihad, meskipun keduannya tetap tetap dijadikan sumber. Kelompok yang menggunakan cara ini bisa disebut “Ahlal Hadis”. Kelompok ini lebih banyak tinggal di wilayah Hijaz, khususnya Madinah.
Kedua, dalam menetapkan fiqh lebih banyak menggunakan sumber ra’yu ketimbang hadis, meskipun hadis juga banyak digunakan. Kelompok ini disebut “Ahl al-Ra’yu”. Kelompok ini lebih banyak mengambil tempat wilayah Irak, khususnya Kufah dan Basrah.
d. Pengertian Hukum Islam
Difinisi hukum secara sederhana, yaitu: “Seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang diakui sekelompok masyarakat;disusun orang-orang yang diberi wewenang oleh masyarakat itu;berlaku dan mengikat untuk seluruh anggotanya”.
e. Usaha pembagian lapangan Hukum Islam
Sebenarnya usaha-usaha untuk mengadakan pembagian hukum Islam sudah dirintis oleh fuqaha-fuqaha dari masa-masa yang lalu, meskipun masih bersifat sederhana dari masa-masa yang lalu, oleh karena itu tidak mencerminkan kecakupan hukum Islam yang sebenarnya.
a) Hukum Ibadah
b) Hukum Privat
c) Hukum Keluarga
d) Hukum Pidana
e) Siasah Syar’iyyah
f) Hukum Internasional
f. Sumber Hukum Islam
Pada kali ini akan dibahas sumber-sumber hukum Islam yang sudah disepakati maupun yang belum disepakati yaitu : 1. Al-Qur’an, 2. Hadis, 3. Ijma’, 4. Qiyas, 5. Ihtisan, 6. Maslahah-Murshalah, 7. Urf, 8. Pendapat sahabat, 9. Istishab, 10. Saddud-dzarai’i, 11. Syara’ umat sebelum kita.
Terhadap keempat hukum tersebut bila diadakan penggolongan-penggolongan berdasarkan :
1. Sumber-sumber yang berupa nas dan sumber yang tidak berupa nas. 2. Sumber-sumber naqli dan sumber aqli (fikiran). 3. Sumber yang sudah disepakati dan yang belum disepakati. 4. Sumber-sumber pokok dan sumber tambahan. 5. Sumber-sumber dari syara’ (Qur’an dan hadis) dan sumber-sumber dari fiqh.
DAFTAR PUSTAKA
Hanafi, Ahmad, 1989, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Jakarta. Bulan Bintang.
Usman, Iskandar, 1994, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam, Jakarta. Raja Grafindo Persada.
Syarifuddin, Amir, 1997, Ushul Fiqh jilid 1, Jakarta. Logos Wacana Ilmu.
[1] Amir Syarifudin, Ushul Fiqh jilid 1, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1997, hlm. 2
[2] Ibid,hlm. 3
[3] Ibid, hlm. 3
[4] Ibid, hlm. 6-7
[5] Ibid, hlm. 22-23
[6] Ibid, hlm. 29-30
[7] Ibid, hlm. 4-5
[8] Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1989, hlm. 38
[9] Ibid, hlm. 54
No comments:
Post a Comment