HIKMAH
MANDI WAJIB (JANABAT)
Setelah
suami istri berhubungan atau seseorang keluar air mani/sperma, diwajibkan
baginya untuk mandi janabat. Ada orang yang pernah bertanya kepada Ibnul
Qayyim Al Jauziyah,
mengapa Allah mewajibkan mandi setelah keluar mani dan tidak mewajibkannya
setelah keluar air seni padahal tempat keluarnya sama?
Beliau
kemudian menjelaskan, “Ini termasuk bagian dari keagungan dan keindahan syariat
Islam yang penuh rahmat, hikmah dan maslahah. Karena air mani keluarnya dari
sari pati seluruh tubuh, maka pengaruh keluarnya pun terasa lebih besar
daripada buang air. Mandi setelah keluarnya mani memiliki banyak manfaat bagi
tubuh, hati dan ruh; berupa kembalinya kesegaran dan keceriaan setelah fisik
melakukan aktifitas biologis yang melelahkan. Hikmah ini dapat dirasakan oleh
seluruh orang yang memiliki perasaan. Karenanya Abu Dzar Al
Ghifari mengatakan setelah mandi janabat: ‘Aku seakan
menemukan kembali tenagaku yang hilang.’”
Rahasia
lainnya dari aspek kesehatan ialah bahwa ia bisa menghilangkan bau tidak enak
yang berbahaya bagi tubuh wanita dan suami yang menyetubuhinya. Seluruh kotoran
dan penyebabnya akan lenyap seketika dengan mandi.
Dalam
Fatawa Mu’ashirah, Syaikh Dr. Yusuf Qardhawi
menjelaskan bahwa
mandi adalah ibadah yang ditetapkan Allah. Ibadah haruslah dikerjakan sesuai
syariatNya baik diketahui hikmahnya atau tidak. Beliau kemudian menjelaskan
hikmah mandi jinabat bahwa banyak dokter yang menyatakan bahwa mandi setelah
melakukan hubungan biologis dapat mengembalikan kekuatan tubuh dan
mengembalikan tenaga yang hilang. Mandi sangat bermanfaat bagi tubuh dan jiwa.
Sebaliknya, meninggalkannya dapat menimbulkan madharat.
Syaikh Ali Ahmad Al Jurjawi,
direktur Asosiasi
Riset Ilmiah Universitas Al Azhar, dalam bukunya Hikmatut Tasyri wa Falsafatuh
menjelaskan, mandi janabat akan memulihkan kekuatan tubuh yang hilang akibat
keluarnya mani. Di samping itu, mandi janabat bisa menghilangkan bau tidak enak
dari tubuh. Seluruh kotoran dan penyebab bau tersebut akan lenyap seketika
dengan mandi.
Mengenai
mengapa buang air tidak diwajibkan mandi, karena buang air merupakan aktifitas
yag sering berulang sehingga sangat tepat ketika Allah mensyariatkan istinja’
untuk membersihkan najisnya dan mensyariatkan wudhu untuk mensucikan diri dari
hadats, tanpa wajib mandi.
Wallahu
a’lam bish shawab.
Hikmah Tayamum
Tanggapan
bahwa tayamum tidak dapat diterima oleh akal apabila ditinjau dari dua segi,
yaitu: pertama, tanah atau debu adalah sesuatu yang kotor, sehingga tidak dapat
menghilangkan daki maupun kotoran-kotoran lainnya. Demikian pula tidak dapat
membersihkan pakaian. Kedua, tayamum hanya disyari’atkan pada dua anggota badan
(wudlu), dan ini tidak sesuai dengan akal logika yang sehat.
Benar
jika syari’at tayamum itu memang tidak sesuai dengan akal yang picik. Akan
tetapi, ia sangat selaras dengan akal yang sehat. Karena sesungguhnya Allah SWT
telah menjadikan air sebagai su,ber utama kehidupan, sementara manusia
diciptakan dati tanah. Tubuh kita tersiri dari dua unsur tersebut, yakni air dan
tanah. Dan telah pula dijadikan dari dua unsur itu makanan bagi kita. Lalu
keduanya dijadikan alat bagi kita untuk bersuci dan beribadah. Tanah adalah
materi asal kejadian manusia dan air adalah sumber kehidupan bagi segal
sesuatu. Lalu Allah SWT menyusun alam ini dan kedua unsur itu sebagai sumber
utamanya.
Pada
dasarnya, bahan yang dipakai untuk membersihkan sesuatu dari kotoran dari
situasi dan kondisi yang biasa adalah air. Tidak diperkenankan untuk tidak
mempergunakan air sebagai bahan pembersih, kecuali pada saat itu air tidak ada,
atau karena adanya halangan seperti sakit serta sebab-sebab yang lain (yang
dapat dibenarkan oleh syara’). Pada saat kondisi tidak memungkinkan untuk
mempergunakan air seperti itu, maka mempergunakan tanah sebagai pengganti air
adalah jauh lebih utama dibandingkan dengan yang lain. Hal ini karena tanah
adalah saudara kandung air. Meskipun pada lahirnya tanah (debu) nampak kotor,
namun ia dapat mensucikan kotoran secara batin. Hal ini diperkuat oleh
kemampuan tanah untuk menghilangkan kotoran-kotoran secara lahir ataupun
mengurangi kadar kotornya. Ini adalah persoalan yang tidak asing bagi mereka
yangilmu yang mendalam, sehingga mampu mengungkap hakikat-hakikat dari sesuatu
amalan serta memahami kaitan antara lahir dan batin bersama interaksi yang
terjadi diantara keduanya.
Adapun
segi atau pandangan yang kedua, yaiut pensyari’atan tayamum yang hanya pada dua
anggota badan (wudlu) tidak sesuai dengan akal, sementara telah diketahui,
bahwa tayamum disyari’atkan pada seluruh anggota badan (wudlu) seperti halnya
dengan air.
Akan
tetapi, pada hakikatnya pensyari’atan tayamum hanya pada dua anggota badan
(wudlu) berada pada puncak kesucian dan keselarasan dengan akal yang sehat,
serta mengandung rasia dan hikmah yang cukup mendalam. Karena pada umumnya,
melumuri kepala denagna debu (tanah) adalah perbuatan yang tidak sesuai dengan
jiwa yang normal. Oleh sebab itu, perbuatan tersebut umumnya hanya dilakukan
orang saat ia ditimpa musibah dan kesulitan. Adapun kedua kaki umumnya adalah anggota
badan yang senantiasa bersentuhan dengan tanah.
Dari
sisi lain, menyapukan tanah (debu) kemuka atau wajah merupakan gambaran
ketundukan dan pengagungan kepada Allah SWT, dan kerendan hati sangat disukai
oleh Allah SWT dan mengandung manfaat yang besar bagi hamba. Oleh sebab itu,
diperintahkan bagi setiap hamba untuk sujud dan langsung menempelkan wajahnya
langsung ke tanah, dan tidak melakukan sesuatu yang menghalangi wajahnya
bersebtuhan dengan tanah.
Apabila
kita telusuri persoalan ini lebih jauh, maka akan nampak bagi kita hikmah lain
yang unik, dimana tayamum disyari’atkan hanya pada dua anggota badan (wudlu)
yang wajib dibasuh saat seseorang berwudlu, dan tidak disyari’atkan pada dua
anggota badan (wudlu) lain yang boleh untuk dibasuh. Bukankah kaki boleh
dibasuh di atas sepatu dan kepala boleh disuh di atas sorban? Maka setelah
kepala dan kaki mendapat keringanan dari mencuci menjadi membasuh saat
berwudlu, sudah sepatutnya apabila kedua anggota ini juga diberi keringanan
atas dasar pengampunan untuk tidak disapu dengan tanah saat melakukan tayamum.
Sebab, apabila kepala dan kaki disyari’atkan untuk disapu pula dengan tanah
(debu) pada saat bertayamum, niscaya tidak ada keringanan yang terjadi (akan
tetapi justru memberatkan). Yang ada hanyalah perpindahan bentu dari menyapu
dengan menyapu dengan tanah (debu). Dan ini menyalahi hikmah pensyari’atan
tayamum yang bertujuan memberikan keringanan. Dari sini nampak jelas, bahwa
hokum yang ditetapkan oleh syari’at Islam itu demikian sempurna dan adil. Dan
inilah timbangan yang benar untuk memahami persoalan ini.
Memang
benar kalau banyak hikmah yang dapat dipetik dari adanya pensyari’atan ini,
maka secara singkat akan diuraikan hikmah-hikmah yang lain diantaranya:
a. Untuk menunjukkan sifat Rahman
dan Rahim Tuhan, bahwa syariat Islam itu tidak mempersulit umat-Nya. Manusia
diperintah melaksanakan ajaran-Nya sesuai dengan kesanggupanmasing-masing. Bila
tidak ada air atau dalam keadaan sakit yang tidak boleh menggunakan air, maka
Allah memberikan kemurahan dengan memperbolehkan menggunakan debu sebagai
pengganti air.
b.
Hikmah
yang terdapat pada tanah sebagai pengganti air untuk bersuci antara lain adalah
tanah mudah didapat dan juga dapat melemahkan nafsu amarah kita, karena tanah
yang biasanya kita injak, pada saat tayamum harus kita sapukan pada wajah kita.
Ini berarti menuntut keikhlasan dan kesabaran kita.
c.
Menyadarkan
akan asal manusia diciptakan, bahwa dirinya diciptakan dari tanah. Ini berarti
menuntut manusia agar bersifat merendahkan diri dan tidak berlaku sombong.
d. Memberikan kesadaran bahwa tidak
ada alas an untuk meninggalkan ibadah. Hal ini juga menunjukkan keluwesan
ajaran Islam yang lengkap sesuai dengan kebutuhan manusia. Contohnya,
menggunakan debu untuk menghilangkan hadas karena ketidak adaan air atau udzur
menggunakan air.
Kesimpulan
Menurut
pengertian syara’ tayamum adalah menyengaja (menggunakan) tanah untuk menyapu
dua tangan dan wajah dengan niat agar dapat mengerjakan shalat dan sepertinya.
Syarat-syarat dari tayamum yaitu: sudah masuk waktu shalat, sudah diusahakan
mencari air tetapi tidak dapat, sedangkan waktu shalat sudah masuk, dengan
tanah yang suci dan berdebu aerta yang terakhir menghilangkan najis. Adapun
rukun-rukun tayamum ialah niat, mengusap wajah (muka) dengan tanah (debu),
mengusap kedua tangan sampai ke siku dengan tanah (debu) dan menertibkan
rukun-rukun tersebut. Sedangkan hal-hal yang membatalkan tayamum yaitu setiap
perkara yang membatalkan wudlu dan ketika adanya air.
Hikmah
yang dapat dipetik dari adanya pensyari’atan tayamum diantaranya yaitu:
Pertama, untuk menunjukkan sifat Rahman dan Rahim Tuhan, bahwa syariat Islam
itu tidak mempersulit umat-Nya. Manusia diperintah melaksanakan ajaran-Nya
sesuai dengan kesanggupanmasing-masing. Bila tidak ada air atau dalam keadaan
sakit yang tidak boleh menggunakan air, maka Allah memberikan kemurahan dengan
memperbolehkan menggunakan debu sebagai pengganti air. Kedua, hikmah yang
terdapat pada tanah sebagai pengganti air untuk bersuci antara lain adalah
tanah mudah didapat dan juga dapat melemahkan nafsu amarah kita, karena tanah
yang biasanya kita injak, pada saat tayamum harus kita sapukan pada wajah kita.
Ini berarti menuntut keikhlasan dan kesabaran kita. Ketiga, menyadarkan akan
asal manusia diciptakan, bahwa dirinya diciptakan dari tanah. Ini berarti
menuntut manusia agar bersifat merendahkan diri dan tidak berlaku sombong. Dan
yang keempat, memberikan kesadaran bahwa tidak ada alasan untuk meninggalkan
ibadah. Hal ini juga menunjukkan keluwesan ajaran Islam yang lengkap sesuai
dengan kebutuhan manusia.
MENGAPA TAYAMUM HRS DG DEBU ?
(DITULIS OLEH: AL-USTADZ MUSLIM
ABU ISHAQ AL-ATSARI)
Tayammum adalah kemudahan dari Allah
yang khusus diberikan kepada umat Muhammad Saw Posisi tayammum adalah sebagai pengganti wudhu
saat tidak dijumpai air atau saat seseorang tidak boleh terkena air karena
sedang sakit.Bolehkah orang yang junub bersuci dengan cara tayammum?
Di antara mereka ada yang mengatakan
hanya debu saja yang bisa digunakan untuk tayammum. Demikian pendapat yang
dipegangi oleh kebanyakan ahlul ilmi, di antaranya Al-Imam Asy Syafi’i, Al-Imam
Ahmad, dan Dawud Adz-Dzahiri, dengan berdalil hadits Hudzaifah Ibnul Yaman z
dalam Shahih Muslim (no. 522) bahwa Rasulullah n bersabda:
“Kita
dilebihkan dari manusia (umat) yang lain dengan tiga perkara yaitu dijadikan
shaf-shaf kita seperti shaf-shaf malaikat, dijadikan bumi seluruhnya sebagai
masjid (tempat shalat) dan dijadikan tanah/debunya bagi kita sebagai sarana
bersuci apabila kita tidak mendapatkan air.”
Adapun
ahlul ilmi yang lainnya mengatakan ash-sha‘id adalah permukaan bumi semuanya
dan apa yang berada di atasnya, seperti pendapat Al-Imam Al-Auza’i, Sufyan
Ats-Tsauri, ‘Atha, Malik, Abu Hanifah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Ibnul
Qayyim, Ibnu Muflih dan yang lainnya. (Tafsirul Qur’anil ‘Azhim, 2/230; Nailul
Authar, 1/364; Adhwa`ul Bayan tafsir Surat An-Nisa ayat 43)
Asy-Syaikh
Abdullah Alu Bassam berkata: “Abu Hanifah dan Malik berpendapat bolehnya
tayammum dengan seluruh yang menonjol di permukaan bumi. Sama saja, baik
permukaan bumi itu berdebu ataupun tidak berdebu seperti pasir, kerikil, tanah
berair, tanah lembab, tanah kering, tanah yang terbakar, batu, rumput kering,
pohon dan selainnya. Demikian pula pendapat Al-Auza’i, Sufyan Ats-Tsauri, salah
satu riwayat lain dari Al-Imam Ahmad dan pendapat yang dipilih oleh Ibnu
Taimiyyah dan muridnya Ibnul Qayyim.
Pendapat
ini dizahirkan oleh Ibnu Muflih dalam Al-Furu’ dan dibenarkannya dalam
Al-Inshaf, berdasarkan firman Allah I:
Dan
sabda Nabi saw:
Sehingga
dengan keumuman nash memberikan faedah bolehnya tayammum dengan seluruh apa
yang tampak di permukaan bumi.” (Taudhihul Ahkam min Bulughil Maram, 1/427)
Dari
perselisihan ahlul ilmi yang kami paparkan di atas, penulis dalam hal ini lebih
condong pada pendapat yang menyatakan bolehnya bertayammum dengan seluruh
permukaan bumi dan apa yang berada di atasnya, wallahu ta’ala a’lam.
‘Allamatusy
Syaikh Asy-Syinqithi t dalam tafsir beliau terhadap ayat:
“Maka
bertayammumlah kalian dengan tanah/debu yang baik/suci, usaplah wajah-wajah
kalian dan tangan-tangan kalian dengannya.” (An-Nisa: 43)
menyatakan
bahwa huruf min () dalam ayat ini bukanlah bermakna tab‘idh (sebagian)
tapi
maknanya ibtida`ul ghayah2, sehingga untuk bertayammum tidak harus menggunakan
tanah yang berdebu.
Selain
itu di kebanyakan negeri didapatkan tidak ada padanya kecuali pasir atau
pegunungan, maka mengharuskan tayammum dengan tanah debu yang dapat menempel
pada tangan merupakan perkara yang memberatkan.
Juga
yang menguatkan pendapat ini adalah hadits yang diriwayatkan dalam
Ash-Shahihain dari Jabir bin Abdillah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
“Diberikan
kepadaku lima perkara yang tidak diberikan kepada seorang nabi pun sebelumku;
(pertama) aku ditolong dengan diberikan rasa takut pada musuh-musuhku
terhadapku walaupun jarak (aku dan mereka) masih sebulan perjalanan, (kedua)
bumi dijadikan untukku sebagai masjid (tempat mengerjakan shalat) dan sebagai
sarana bersuci, maka siapa saja dari umatku didapati waktu shalat, hendaklah ia
shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 335, 438 dan Muslim no. 521)
Hadits
ini merupakan nash yang jelas yang menunjukkan bila waktu shalat mendapati
seseorang sementara ia berada di tempat yang padanya hanya ada pegunungan atau
pasir maka sha‘id yang thayyib yang berupa bebatuan atau pasir merupakan
penyuci baginya dan tempat shalatnya/masjidnya. (Adhwa`ul Bayan tafsir surat
An-Nisa ayat 43)
Al-Imam
Ash-Shan’ani t berkata: “Hadits ini menunjukkan bolehnya tayammum dengan
seluruh bagian bumi.” (Subulus Salam, 1/146)
Adapun
hadits Hudzaifah yang seakan membatasi tayammum dengan menggunakan tanah
berdebu maka bisa diterangkan dari beberapa sisi:
Pertama:
Perkara yang disebutkan dalam hadits ini (tanah berdebu dapat digunakan untuk
bersuci) dinyatakan dalam rangka menunjukkan anugerah yang diberikan kepada
umat Islam (tidak diberikan kepada umat sebelumnya), sehingga yang demikian
mencegah dianggapnya mafhum mukhalafah (yakni selain debu tidak boleh).
Karena
itulah ulama bersepakat membolehkan makan dendeng daging ikan, padahal Allah
mengkhususkan penyebutan daging ikan yang segar dalam firman-Nya:
“Dialah
yang menundukkan lautan (untuk kalian) agar kalian dapat makan daging (ikan)
yang segar dari lautan tersebut.” (An-Nahl: 14)
Yang
demikian itu karena penyebutan dalam ayat adalah untuk menunjukkan anugerah
yang dilimpahkan-Nya maka tidak bisa dipahami dengan mafhum mukhalafah bahwa
selain daging segar tidak boleh dimakan.
Kedua:
Yang dipahami dari lafadz turbah (dalam hadits tersebut yang berarti tanah)
adalah mafhum laqab, sementara mafhum laqab adalah selemah-lemah pemahaman.
Juga
mafhum ini tidak bisa diangkat untuk mengkhususkan keumuman Al Kitab dan As
Sunnah. Oleh karena itu tidak teranggap dan tidak bisa dipakai/diamalkan
menurut para imam ahli ushul.
Inilah
pendapat yang benar sebagaimana dimaklumi dalam ilmu ushul.
Ketiga:
Turbah adalah salah satu bagian dari sha‘id. Menurut jumhur (mayoritas) ulama,
penyebutan sebagian satuan dari sesuatu yang umum dengan hukum yang umum
bukanlah sebagai pengkhususan bagi yang umum tersebut, sama saja baik keduanya
disebutkan dalam satu nash seperti
firman
Allah swt:
“Jagalah
oleh kalian shalat-shalat dan shalat wustha (yakni shalat Ashar).”
Atau
disebutkan dalam dua nash seperti hadits:
“Apabila
kulit telah disamak berarti ia telah suci.” (HR. Muslim no. 366 dari Ibnu
‘Abbas c)
dengan
hadits:
“Tidakkah
kalian memanfaatkan kulitnya (yakni kulit kambing yang telah menjadi bangkai)?”
(HR. Al-Bukhari no. 1492 dan Muslim no. 363 dari Ibnu Abbas ra juga)
Penyebutan
shalat wustha pada contoh yang awal dan kulit kambing pada contoh yang
berikutnya, tidaklah menunjukkan bahwa selain shalat wustha tidak dijaga, dan
selain kulit kambing tidak boleh dimanfaatkan.
Keempat:
Penyebutan turbah di dalam hadits ini dan yang selain hadits ini disebutkan
penyebutannya secara aghlabiyah (yang lebih banyak digunakan)
namun
tidak menafikan permukaan bumi yang lainnya .
Dan
yang menguatkan hal ini adalah tayammum beliau saw pada dinding.
(Raudhatun
Nadiyyah bersama At-Ta’liqat Ar-Radhiyah, 1/202; Subulus Salam, 1/146; Adhwa`ul
Bayan tafsir surat An-Nisa ayat 43, 2/37-38)
Asy-Syaikh
Ibnu ‘Utsaimin t berkata: “Dalam bertayammum tidak harus (tidak khusus)
menggunakan tanah/debu, bahkan bisa digunakan seluruh apa yang menonjol di
permukaan bumi.
Dalilnya:
1.
Firman Allah swt:
“Maka
bertayammumlah kalian dengan sha’id yang baik/suci.”
Sha‘id
adalah seluruh yang menonjol yang ada di permukaan bumi. Dalam keadaan Allah
swt mengetahui bahwa manusia dalam safar mereka akan menempuh tanah yang
berpasir, berbatu dan berdebu, namun Allah tidak mengkhususkan satu dari yang
lainnya.
2.
Nabi saw dalam perang Tabuk melewati hamparan pasir yang banyak. Namun tidak
dinukilkan adanya berita bahwa beliau saw membawa tanah berdebu atau tidak ada
berita beliau mengerjakan shalat tanpa tayammum. (Asy-Syarhul Mumti‘,
1/330-331)
Tidak
Disyariatkan Membawa Debu
dalam
Perjalanan
Tidak
disyariatkan bagi musafir untuk membawa debu bila dimungkinkan tidak
mendapatkan air dalam perjalanannya.
Ibnul
Qayyim rah menyatakan bahwa ketika Nabi saw safar bersama para shahabatnya
dalam perang Tabuk, air yang mereka bawa sangat sedikit namun tidak disebutkan
bahwa Nabi membawa debu. Tidak ada pula perintah dari beliau dan tidak ada
seorang shahabatpun yang melakukannya. (Zadul Ma’ad, 1/50)
Sebagian
ahlul ilmi mengingkari hal tersebut dan mengatakan perbuatan ini tidak ada
contohnya dari Nabi saw. (Fathul Bari, Ibnu Rajab, 2/31)
Siapa
Saja yang Diberikan Keringanan untuk Tayammum?
Dalam
hal ini ada dua ketentuan, yaitu tayammum berlaku ketika tidak ada air dan
ketika ada air namun ada kemudharatan atau kesulitan bagi seseorang dalam
penggunaannya.
Sehingga
kapan saja seseorang dalam dua keadaan ini maka dibolehkan baginya untuk
bertayammum oleh syariat yang mudah ini. Seperti ketika tidak ada air, atau
tidak didapatkannya air bagi seseorang yang sedang bepergian (safar) ataupun ia
tidak sedang melakukan perjalanan (muqim), maka dibolehkan untuk tayammum.
Sebagaimana disebutkan Allah I dalam firman-Nya:
“Apabila
kalian sakit atau sedang bepergian (safar) atau salah seorang dari kalian
datang dari tempat buang air besar (selesai membuang hajat) atau kalian
menyentuh wanita (jima’) sedangkan kalian tidak mendapatkan air maka
bertayammumlah dengan permukaan bumi yang baik (suci)….” (Al-Maidah: 6)
Sedangkan
dalil bolehnya tayammum bagi orang yang muqim sebagaimana disebutkan dalam
hadits Abul Juhaim ra, ia berkata:
“Nabisaw
datang dari Bi`r Jamal. Lalu ada seseorang bertemu dengan beliau. Orang itu pun
mengucapkan salam namun beliau tidak membalasnya hingga beliau menghadap ke
tembok lalu mengusap wajah dan kedua tangan beliau (bertayammum). Setelahnya
baru beliau membalas salam orang tersebut.” (HR. Al-Bukhari no. 337 dan Muslim
no. 369)
Hadits
di atas ditempatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari rah dalam kitab Shahih-nya dalam
bab yang berjudul “Tayammum ketika tidak sedang bepergian apabila seseorang tidak
mendapatkan air.”
Al-Imam
An-Nawawi t berkata: “Hadits ini dipahami, tayammum beliau n ketika itu
dikarenakan beliau n sedang tidak mendapatkan air.” (Syarh Shahih Muslim, 4/64)
Ibnu
Qudamah rah mengatakan: “Apabila orang yang muqim tidak mendapatkan air
disebabkan tidak ada air di lingkungan mereka, atau air yang ada tertahan pada
satu tempat, maka boleh bagi mereka tayammum dan shalat dengan tayammum
tersebut. Ini merupakan pendapat Malik, Ats-Tsauri, Al-Auza’i dan Asy-Syafi’i.”
(Al-Mughni,1/148)
Masalah
muqim bisa bertayammum ketika tidak mendapatkan air di sisinya, ditunjukkan
juga dengan hadits yang menyebutkan tentang kisah seorang laki-laki yang
menyendiri, tidak shalat bersama orang-orang yang shalat karena sedang junub
dan tidak mendapatkan air, maka Nabi n menuntunkan padanya:
“Silakan
engkau menggunakan permukaan bumi (untuk bertayammum), sesungguhnya hal itu
mencukupimu.” (HR. Al-Bukhari no. 344, 348 dan Muslim no. 682)
Al-Imam
Asy-Syaukani t berkata: “Hadits ini menunjukkan disyariatkannya tayammum untuk
mengerjakan shalat ketika tidak ada air, tanpa membedakan antara orang yang
junub dan yang selainnya. Hal ini disepakati para ulama, dan tidak ada seorang
dari kalangan khalaf (orang yang belakangan)yang menyelisihinya, kecuali ‘Umar
ibnul Khaththab dan Abdullah bin Mas’ud. Namun dikatakan bahwa mereka berdua
telah rujuk (kembali kepada pendapat yang benar dan tidak lagi berpendapat
dengan pendapat yang sebelumnya -pen).
Dihikayatkan
pula tentang tidak bolehnya tayammum bagi orang yang junub ini dari Ibrahim
An-Nakha’i. Namun terdapat hadits-hadits yang shahih yang menunjukkan bolehnya
tayammum bagi orang yang junub. Apabila orang yang junub ini shalat dengan
tayammumnya kemudian dia mendapatkan air maka wajib baginya untuk mandi dengan
kesepakatan ulama.
Kecuali
pendapat yang dihikayatkan dari Abu Salamah bin Abdirrahman, seorang imam dari
kalangan tabi’in, ia berpendapat tidak wajib mandi. Namun pendapatnya ini
adalah pendapat yang ditinggalkan dengan kesepakatan ulama yang sebelum beliau
dan setelahnya, juga tertolak dengan hadits-hadits yang shahih yang masyhur
tentang perintah Nabi saw kepada orang yang junub untuk mandi apabila ia
mendapatkan air.” (Nailul Authar, 1/358)
Dari
penjelasan dan dalil di atas, alhamdulillah, kita tahu bahwa ketidakadaan air
merupakan sebab dibolehkannya tayammum, sama saja baik ketika sedang bepergian
ataupun sedang muqim.
Adapun
dalam ayat tayammum hanya disebutkan safar karena keumumannya memang demikian,
yakni orang yang sedang bepergian biasanya kekurangan air atau tidak
mendapatkannya, wallahu a’lam.
Adapun
bagi orang yang sakit, dalam banyak keadaan termudharatkan ketika berhubungan
ataupun bersentuhan dengan air sehingga ia pun dibolehkan tayammum.
Ulama
berkata: “Siapa yang ketika menggunakan air ia khawatir akan membahayakan
badannya, seperti sakit yang ditakutkan akan bertambah parah, atau khawatir
memperlambat kesembuhan, atau akan meninggalkan atsar/bekas dan semisalnya,
maka ia meninggalkan penggunaan air dalam berwudhu atau mandi dan beralih
kepada tayammum sampai ia sembuh.”
Demikian
pula semata-mata karena khawatir kemudharatan yang akan dialami -meski tidak
sampai pada kematian- ketika menggunakan air maka dibolehkan tayammum
berdasarkan firman Allah Swt:
“Allah
tidak menjadikan dalam agama ini satu keberatan pun bagi kalian.” (Al-Hajj: 78)
Sementara
syariat tayammum ini ditetapkan untuk mengangkat keberatan dari umat ini. Allah
swt juga berfirman:
“Allah
tidak membebani suatu jiwa melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”
(Al-Baqarah: 286)
[Al-Muhalla,
1/346; As-Sailul Jarrar, 1/308-310; Ar-Raudhatun Nadiyyah bersama At-Ta’liqat
Ar-Radhiyah, 1/202; Taudhihul Ahkam 1/429]
‘Amr
ibnul ‘Ash z tatkala diutus oleh Rasulullah n pada peperangan Dzatus Salaasil,
pada hari yang sangat dingin ia ihtilam (mimpi basah) kemudian bertayammum
karenanya dan menunaikan shalat mengimami teman-temannya. Maka tatkala mereka
pulang, mereka menyebutkan hal ini kepada Rasulullah n. Beliau pun bertanya
kepada ‘Amr: “Wahai ‘Amr, apakah engkau shalat mengimami teman-temanmu dalam
keadaan engkau junub?” ‘Amr menjawab: “Aku ingat dengan firman Allah I:
“Dan
janganlah kalian membunuh diri-diri kalian sesungguhnya Allah Maha penyayang
terhadap kalian.” (An-Nisa: 29)
Maka
akupun tayammum lalu mengerjakan shalat.”
Mendengar
penjelasan ‘Amr tersebut, Rasulullah n tertawa dan tidak mengatakan sesuatupun.
(HR. Abu Dawud no. 334 dan Ahmad, 4/203-204. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh
Al-Albani dalam Al-Irwa` no. 154)
Al-Imam
Al-Bukhari mengeluarkan hadits ini secara mu‘allaq dalam kitab At-Tayammum, bab
“Diperkenankan tayammum bagi orang yang junub apabila mengkhawatirkan dirinya
jatuh sakit, atau meninggal atau khawatir kehausan karena kehabisan air.”
Sufyan
Ats-Tsauri t berkata: “Ulama sepakat bahwasanya bila seseorang berada di negeri
yang dingin lalu ia junub dan ia khawatir dirinya akan meninggal bila
menggunakan air untuk mandi, maka boleh ia tayammum.” (Mushannaf Abdurrazaq 1/
226, no. 877)
Al-Imam
Al-Majd Ibnu Taimiyyah4 t berkata: “Di sini didapatkan, penetapan tayammum
karena takut hawa yang dingin, gugurnya kewajiban (berwudhu) dalam keadaan
dingin yang sangat, dan sahnya shalat seorang yang berwudhu di belakang imam
yang berthaharah dengan tayammum…” (Nailul Authar, 1/360-361)
(bersambung
insya Allah)
1
Bila maknanya tab‘idh berarti yang digunakan untuk tayammum harus tanah berdebu
yang dapat melekat/ menempel pada tangan.
2
() yang menunjukkan ibtida`ul ghayah seperti seseorang mengatakan:
(“Aku
berjalan dari Makkah ke Madinah”).
3
Sementara syariat tayammum diturunkan untuk meringankan hamba bukan
memberatkannya.
1
Al-Majd Ibnu Taimiyyah penulis Muntaqal Akhbar adalah kakek Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah
No comments:
Post a Comment